Formula Biaya Haji

Formula Biaya Haji

Biaya haji 2023 diusulkan naik jadi Rp 69 juta. -ilustrasi-

BIAYA haji tahun ini naik Rp 30 juta. Itu usulan pemerintah dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI. Biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang diusulkan adalah Rp 69.193.733. Naik sekitar 75 persen dari Rp 39,8 juta tahun lalu. 

Dalam perhitungan pemerintah, biaya sebesar itu mencakup 70 persen dari total biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang besarnya mencapai Rp 98.893.909. Yang 30 persen, sekitar Rp 29.700.175, akan disubsidi dari hasil investasi dana haji yang terkumpul di BPKH

Kalau usulan tersebut disepakati, itu akan jadi masalah besar bagi calon jamaah haji. Sebab, hanya tersisa waktu sekitar empat bulan sebelum keberangkatan. Tambahan Rp 30 juta itu sangat besar sehingga berpotensi banyak calon jamaah haji yang tidak mampu melunasinya. Jika itu terjadi, urusan keberangkatan haji akan makin pelik. 

Biaya haji itu sebenarnya sudah menjadi masalah sejak tahun lalu. Saat pembukaan haji seusai pandemi Covid-19 tahun lalu, biaya tiba-tiba membengkak beberapa hari menjelang keberangkatan. Kenaikan itu berkaitan dengan adanya kebijakan Kerajaan Arab Saudi musim haji 1443 H pada layanan masyair. Yaitu, pelayanan pada puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Biayanya membengkak dari Rp 5,94 juta per jamaah menjadi Rp 21,98 juta. 

Dengan jumlah jamaah 100.051, biayanya membengkak hingga Rp 1,463 triliun. Ditambah biaya petugas haji daerah dan pembimbing KBIH, biaya technical landing jamaah haji embarkasi Surabaya, tambahan biaya jamaah haji khusus, dan selisih kurs, totalnya menjadi Rp 1,5 triliun. 

Saat itu pemerintah dengan cepat mengambil keputusan. Jamaah haji tidak perlu menambah biaya. Waktunya sangat mepet. Kekurangan tersebut ditambal dari subsidi nilai manfaat pengelolaan haji Rp 724 miliar dan dana efisiensi penyelenggaraan haji Rp 739,8 miliar. Selesai dan jamaah haji bisa diberangkatkan.

Kini masalah biaya haji lebih rumit. Sebab, tahun ini Indonesia memperoleh kuota 221 ribu. Jika kebijakan yang diambil seperti tahun lalu –tidak menambah biaya haji– dampaknya akan sangat serius. Hasil investasi dana haji tak akan mampu menyubsidi biaya haji yang meningkat sangat besar. 

Tahun lalu biaya riil haji sudah mencapai Rp 90 juta. Itu karena ada tambahan biaya masyair –Arafah, Muzdalifah, Mina– sekitar Rp 16 juta (dari Rp 5,94 juta menjadi Rp 21,98 juta). Dengan biaya yang harus dibayar jamaah Rp 39,8 juta, subsidi per jamaah mencapai Rp 51 juta. Beruntung, tahun lalu jamaah yang diberangkatkan hanya sekitar 50 persen, yaitu 100.051, sehingga hasil investasi dana haji masih cukup untuk meng-cover tambahan biaya itu.  

Formulasi tahun lalu tentu tidak bisa diterapkan tahun ini. Sebab, jumlah jamaah mencapai 221 ribu. Berapa subsidi yang harus dikeluarkan jika jamaah tidak menanggung membengkaknya biaya haji itu. Hasil investasi (manfaat) dana haji tak akan sanggup menutup tambahan biaya tersebut. 

Di sisi lain, jika membebankan pembengkakan biaya haji itu kepada calon jamaah haji, akan banyak yang tidak mampu melunasi sehingga tidak bisa berangkat haji. Itu akan menjadi masalah yang pelik karena pemerintah harus mengatur ulang nama-nama yang bisa berangkat haji tahun ini. 

Subsidi haji yang terlalu besar seperti tahun lalu memang tidak rasional. Dengan masa tunggu rata-rata 10 tahun, berarti jamaah menikmati hasil investasi sekitar 200 persen dari setoran awal Rp 25 juta. Atau rata-rata keuntungan 20 persen per tahun. 

Itu sangat tidak rasional. Berdasar catatan Kemenag, hasil rata-rata investasi dana haji hanya sekitar 5,4 persen per tahun. Itu karena memang BPKH juga harus hati-hati mengelola sehingga dibatasi dengan PP. 

Dalam PP Nomor 5 Tahun 2018 itu disebutkan, tidak semua dana haji bisa diinvestasikan jangka panjang. BPKH harus menyediakan dana setara dua kali penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Rata-rata, BPKH memiliki aset lancar setara lebih dari tiga kali biaya haji. 

Instrumen investasi yang dibolehkan pun yang harus sangat aman dan sesuai syariah. Yaitu, surat berharga syariah (saham, sukuk, reksa dana), emas, hingga deposito bank syariah dengan porsi investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut. Regulasi itu diperlukan untuk mengelola risiko sehingga dana haji tetap aman. Konsekuensinya, investasi dana haji tidak bisa menghasilkan pengembalian yang tinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: