Formula Biaya Haji
Biaya haji 2023 diusulkan naik jadi Rp 69 juta. -ilustrasi-
Formula subsidi biaya haji tersebut memang berisiko dalam sistem pembiayaan haji. Sebab, mengharapkan hasil investasi yang tinggi dan aman tentu tidak mudah. Juga tidak pasti. Sementara itu, hasil investasi tersebut dipastikan untuk menyubsidi biaya haji. Belum lagi jika ada pembengkakan biaya seperti yang terjadi pada biaya haji 2022.
Karena itu, ke depan, subsidi harus dikurangi dan pada saatnya dihapus. Tahun lalu, dengan pembengkakan biaya, lebih dari separuh dari hasil investasi haji digunakan untuk menyubsidi. Padahal, masih ada puluhan tahun ke depan yang juga harus disubsidi. Jika hasil investasi haji menurun, karena kondisi ekonomi memburuk, misalnya, itu akan berisiko bagi subsidi haji di tahun-tahun mendatang.
Selain itu, kehalalan model subsidi itu bagi sebagian calon jamaah juga diragukan. Sebab, mereka menerima subsidi dari hasil pengelolaan uang calon jamaah tahun-tahun berikutnya yang disetor ke BPKH. Saat menyetor, jamaah mewakilkan kepada BPKH untuk mengelola uang setoran haji tersebut.
Bagaimana skenario yang lebih adil? Uang untuk menyubsidi itu adalah hasil pengelolaan uang setoran calon jamaah yang bersangkutan. Sebagai contoh, jika seseorang menunggu 10 tahun, yang seharusnya diterima adalah hasil pengelolaan dari uang setoran haji selama 10 tahun tersebut. Bukan hasil dari pengelolaan uang calon jamaah haji berikutnya.
Ilustrasinya, jika yang berangkat tahun ini telah mendaftar sejak 2011, berarti masa tunggunya 12 tahun. Jika hasil investasi rata-rata 5,4 persen per tahun, hasil investasinya dalam 12 tahun sekitar 65 persen atau sekitar Rp 16.250.000 (dari setoran haji Rp 25 juta). Dengan demikian, jamaah telah memiliki dana Rp 41,25 juta. Jika biaya riil adalah Rp 98 juta, pelunasannya mencapai Rp 57 juta.
Dengan formulasi di atas, biaya haji akan menjadi mahal. Pendaftar haji pun akan berkurang. Itu tak masalah karena haji adalah rukun Islam yang memang diwajibkan kepada yang mampu saja. Antrean haji pun menjadi lebih rasional. Tidak seperti sekarang yang sudah mencapai hampir 100 tahun di daerah tertentu. (*)
*) Dosen Ekonomi Syariah FEB Universitas Airlangga dan Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jatim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: