Series Jejak Naga Utara Jawa (9): Tionghoa-Jawa harus Dipecah-belah

Series Jejak Naga Utara Jawa (9): Tionghoa-Jawa harus Dipecah-belah

Retna Christa (kiri) melihat hotel Tiongkok Kecil Heritage di Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Perang Lasem atau Perang Kuning menimbulkan trauma di kalangan VOC. Persatuan warga Tionghoa-Jawa-Santri ternyata bisa sangat merepotkan. Tak ada cara lain. Mereka harus dipecah-belah.

 

BUKU tua itu bertajuk Carita Lasem. Ditulis pada 1858. Pengarangnya adalah Raden Panji Khamzah. Lalu ditulis ulang oleh Raden Panji Karsono pada 1920.

 

Adalah Baskoro Pop, co-founder Yayasan Lasem Heritage, yang memberikan fotokopi buku itu untuk tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa. ’’Di sini ngeri ceritanya,’’ ungkap Pop, sapaannya.

 

Di teras Rumah Merah Heritage, Lasem, Rabum 18 Januari 2023 itu, Pop menunjuk satu halaman. Yang menceritakan tentang perlawanan warga Tionghoa-Jawa-Santri saat melawan VOC. Yang kisahnya lantas dipaparkan kembali kepada kami sembari mengunjungi satu per satu situs dan tetenger tentang perang besar itu.

 

Buku berbahasa Jawa ngoko itu memang terasa keaslian ceritanya. Adegan demi adegan pertempuran diceritakan dengan gamblang. Termasuk kengerian perang yang mengakibatkan nyawa melayang dengan tubuh dan kepala tercerai-berai.

 

Tak heran, buku itu ditulis hanya berjarak sekitar 110 tahun dari peristiwa Perang Lasem. Dan Raden Panji Karsono benar-benar berpesan agar jangan sampai ada perubahan dalam penyalinan buku. ’’Buku Carita Lasem iki supaya ditulad pleg kethuweg kabeh anak turunku turun-tumurun, poma-poma ukarane aja nganti diowahi (buku ini harus disalin persis oleh keturunanku, jangan sampai ada satu huruf pun yang berubah, Red),’’ tulis Karsono dalam pengantarnya.

 

Ia juga berpesan agar buku tersebut disimpan baik-baik. Jangan sampai ketahuan Belanda. Sebab, yang empunya buku bisa dihukum oleh penjajah.

 

Perang Lasem pada 1741-1743 itu memang membuat VOC repot bukan kepalang. Sebelumnya, pada 1740 di Batavia, mereka sudah berdarah-darah pada peristiwa Geger Pecinan. Meskipun, jauh lebih banyak warga Tionghoa yang terbantai hingga akhirnya lari ke timur dan mengangkat senjata bersama orang Jawa.

 

Karena itu, sebagaimana di Batavia, Kompeni pun berupaya memecah-belah warga Tionghoa dan Jawa. Jangan sampai mereka bersatu lagi. Apalagi bersama-sama memerangi VOC.

 

Kisah itu pun ditulis dalam Carita Lasem

 

Alkisah, setelah para ’’pemberontak’’ Tionghoa dan Jawa disapu VOC, Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) kembali ke Lasem. Ia kembali memegang tampuk pemerintahan lokal. Dengan berpura-pura membenci laskar Tionghoa yang pernah melawan Kompeni.
BACA JUGA: Pahlawan yang Dihapus dari Sejarah

 

Oei Ing Kiat kembali memerintah hanya untuk mencari celah agar bisa kembali mengumpulkan kekuatan melawan VOC. Tetapi, taktik ini terbaca oleh Belanda. Kekuasaan Oei Ing Kiat pun dikebiri. Ia ’’diangkat’’ menjadi Majoor der Chinezen, pemimpin warga Tionghoa di dalam lingkup kota. Oei Ing Kiat juga tidak boleh lagi memakai nama Jawa. Maka, sejak itu Tumenggung Widyaningrat ’’hanya’’ menjadi Majoor Oei Ing Kiat.

 

Sejak November 1743, orang-orang Tionghoa yang tinggal di pedesaan dipaksa untuk hengkang. ’’Dipeksa dening Walanda, dikongkon ngalih nglumpuk nunggal dadi siji neng setengah-tengahing kutho, ora kena ngumpul lan sesrawungan karo wong Jawa. Uripe prasasat wong dikunjara, saben dina tansah diawasi dening Kumpeni Walanda. Nyambut gawe dingkongkon dagang pametune bumi, kongkon nyetorake maring Walanda. Dikongkon dadi tukang gade nampa titip gadhene wong-wong Jawa. Dadi tukang beya pasar sarta tukang adol candhu lan adol uyahe pamrentah Walanda.

 

Paragraf dalam Carita Lasem itu menyiratkan kegetiran hidup warga Tionghoa yang dipaksa hidup di dalam pecinan. Seperti dipenjara. Hanya boleh berdagang dengan memberikan setoran kepada Belanda. Mereka juga berbisnis pegadaian, serta penarik pajak dan penjual candu.

 

Secara bertahap, hidup mereka dikebiri…

 

Padahal, Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa-Silang Budaya: Jaringan Asia yang terbit pada 1990 mengatakan bahwa tidak semua orang Tionghoa berminat pada perdagangan. Banyak juga yang bertani, beternak, atau usaha makanan rumahan.

 

Lombard, profesor studi Asia dari Prancis itu, menyitir sensus penduduk Tionghoa setelah Geger Pecinan pada 1740. Dari 3.431 kepala keluarga, sebanyak 1.442 di antaranya adalah pedagang. Sisanya beragam. Mulai perajin seni kriya, petani, hingga buruh pabrik gula.

 


Kelenteng Cu An Kiong, Lasem, yang merupakan salah satu kelenteng tertua di Jawa.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Warga Tionghoa tidak hanya dikumpulkan dalam satu wilayah. Di beberapa tempat, kebudayaan mereka juga pelan-pelan dikikis. Buku Carita Lasem mengutip sebuah aturan pada 1747 yang diterapkan di Lasem dan sekitarnya. Yakni, warga dilarang bersekutu dengan kaum pemberontak. Yang ketahuan akan dihukum mati. Kedua, warga dilarang menyimpan kitab-kitab Syiwa, Buddha, dan kisah-kisah kepahlawanan ’’pemberontak’’ Tionghoa. Yang tertangkap akan dicambuk 25 kali. Lalu, warga juga dilarang menyimpan patung-patung untuk persembahan. Semua harus dibakar. Peribadatan hanya boleh dilakukan di kelenteng.

 

Benar-benar mirip suasana Orde Baru. Saat warga Tionghoa mengalami represi. Hingga mereka akhirnya memilih jalur ’’aman’’. Yakni, berdagang…

 

Pecinan pada akhirnya memang membentuk karakteristik warisan budaya warga Tionghoa. Terbentuklah kantong-kantong perdagangan dengan ciri khas tertentu. Mulai sistem tata kemasyarakatannya, perkumpulan yang tumbuh di dalamnya, sampai arsitektur yang masih bisa dilihat sejaknya.

 

Pecinan dan para penguasanya juga meninggalkan jejak rumah-rumah indah yang dulu hanya bisa dimiliki orang kaya.

 

Namun, di luar itu semua, tetap ada warga Tionghoa yang tetap tekun menjalani tradisi. Dalam sunyi, mereka melestarikan budaya itu. Beberapa mengalami asimilasi yang membuatnya makin lestari. Ketekunan mereka dalam bertahan hidup membuat budaya itu masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Masih bisa ditemukan dalam ekspedisi kali ini… (*)

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada

 

SERI BERIKUTNYA: Kerasnya Kehidupan Glodok

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: