Series Jejak Naga Utara Jawa (18) : Pusat Bisnis Sekaligus Tempat ''Dugem''
Reporter:
Tim Harian Disway *)|
Editor:
Doan Widhiandono|
Sabtu 11-02-2023,10:34 WIB
Perjalanan tim Ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa sebelum memasuki gerbang Jalan Kembang Jepun Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-
Kawasan Kembang Jepun mulai dikenal sebagai pusat perdagangan pada era kolonial. Yakni pada pertengahan abad 18. Namun, dalam perkembangannya, kawasan itu tak sekadar menjadi sentra bisnis. Jalan sepanjang 750 meter itu disebut-sebut menjadi pusat hiburan malam terbesar di Surabaya.
---
DI situ saya tinggal selama 11 tahun. Di situ juga saya melakukan kepandaian-kepandaian saya tersebut: menyanyi, memainkan musik, menuangkan minuman, memijat, membuka seluruh pakaian dan memberikan tubuh saya dinikmati oleh banyak lelaki…
Penggalan alinea itu ada dalam novel Kembang Jepun karya Remy Sylado. Budayawan cum wartawan itu menggambarkan Kembang Jepun sebagai sebuah kawasan yang banal. Sebuah dunia yang ingar-bingar, tetapi juga kelam. Dunia yang hitam sekaligus warna-warni. Yakni, jagat pelacuran. Yang hidup di akhir masa kolonial Belanda pada awal abad ke-20.
Memang, mengkaji sejarah Kembang Jepun secara lengkap akan sangat panjang. Jauh lebih panjang daripada ruas jalan itu yang hanya sekitar 750 meter.
Jalan Kembang Jepun sudah dihidupkan oleh orang-orang dari berbagai bangsa sejak lama. Termasuk ketika orang-orang Tionghoa mulai datang ke pesisir utara Jawa Timur pada abad ke-14. Sejak awal, aktivitas utama mereka adalah berdagang hasil bumi. Terutama beras. Mereka bermukim secara berkelompok di sisi timur Kalimas. Karena posisinya dekat dengan pelabuhan Kalimas yang ketika itu menjadi pintu utama perairan.
Tak hanya orang-orang Tionghoa. Daerah Surabaya Utara juga dipenuhi para pedagang Arab. Mereka melebur dengan warga lokal. Ketika VOC berkuasa penuh pada 1743, pemerintah kolonial menjadikan kawasan Jembatan Merah sebagai pusat pemerintahan. Mereka lalu membagi kota menjadi tiga sektor.
BACA JUGA: Geliat Perniagaan Kembang Jepun
’’Di sisi barat Kalimas adalah wilayah aktivitas orang-orang Belanda. Ada gedung-gedung pemerintahan, kantor pajak, dan permukiman. Sisi timur sungai adalah wilayah Tionghoa atau pecinan. Nah, sebelah utara sana adalah kampung Arab,’’ papar Freddy H. Istanto, pemerhati sejarah Surabaya, Rabu siang, 25 Januari 2023.
Dalam peta Surabaya pada 1886, kawasan di sisi selatan Handelstraat (sekarang Jalan Kembang Jepun), disebut sebagai Chinesche Kamp. Di situ ada Kampoong Kembang Djepon yang dibatasi Suikerstraat (sekarang Jalan Gula) di sisi selatannya. Dari sini sudah terlihat bahwa penyebutan Kembang Jepun setidaknya sudah ada sejak akhir abad ke-19.
Freddy terus menjelaskan selagi tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa berkendara dengan Honda CR-V Prestige melintasi Jalan Rajawali, bablas ke Jembatan Merah. ’’Makanya mulai sini sampai ke sana kan kental banget nuansa Tionghoanya,’’ lanjutnya, seraya menunjuk jalan Kembang Jepun yang gerbang naganya terlihat dari kejauhan.
Nuansa bisnis kawasan itu sangat kentara oleh nama jalannya dulu. ’’Handel artinya perdagangan atau perniagaan. Straat itu jalan,’’ kata Freddy. ’’Jadi, saat itu memang kawasan ini sudah didesain sebagai kawasan bisnis,’’ kata Freddy.
Dalam perkembangannya, perkampungan Tionghoa meluber ke arah utara. ’’Mendesak’’ perkampungan orang Arab. Yakni ke Jalan Kalimati (yang ada sop buntut Ganefo-nya itu) dan Songoyudan. Dua jalan itu awalnya masuk wilayah Kampung Arab. Tapi, kemudian oleh warga setempat, kawasan itu diserahkan kepada orang-orang Tionghoa.
Memang, pada kenyataannya, Kembang Jepun berkembang sebagai central business district paling lengkap di wilayah Indonesia Timur. Toko-tokonya berukuran lebih besar daripada yang di jalan-jalan sekitarnya. Minimal dua lantai. Yang bawah untuk toko atau gudang, atasnya buat rumah tinggal.
Yang dijual juga macam-macam. Mulai bahan baku (sembako, cokelat, karet), barang-barang setengah jadi (kertas, tekstil), hingga produk jadi seperti baju dan kebutuhan rumah tangga. Aktivitas bongkar muat, pengemasan, hingga jual beli tak pernah berhenti dari pagi hingga sore. Terdapat juga restoran-restoran dan penginapan.
Karyawan toko menutup gerbang pintu usahanya di Jalan Kembang Jepun Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-
Nah, pukul lima sore, setelah toko-toko tutup, dimulailah kehidupan malam di Kembang Jepun. Restoran-restoran dan tempat minum menyediakan beragam hiburan. Termasuk tari-tarian dan musik. Sejumlah tulisan menyebut bahwa Kembang Jepun juga menjadi pusat ’’jajan.’’
Freddy tidak sepenuhnya membenarkan. Founder Surabaya Heritage Society itu hanya bilang, ’’Ini tempat dugem. Orang-orang Belanda, kalau malam pulang kerja, dugemnya ke Kembang Jepun,’’ ungkapnya.
Namun, ia juga menjelaskan bahwa di antara bangunan-bangunan yang berbaris di sepanjang jalan Kembang Jepun, ada yang menyediakan perempuan penghibur. Dari Jepang. Cantik-cantik. Mereka disebut dengan karayuki-san.
’’Bukan geisha, ya. Mereka berdandan seperti geisha. Tapi bukan. Lebih ke pekerja seks komersial,’’ kata Freddy. Begitu terkenalnya perempuan-perempuan Jepang itu. Hingga kisah-kisah mereka diabadikan dalam berbagai karya sastra. ’’Salah satu yang paling terkenal adalah Kembang Jepun, karya Remy Sylado,’’ jelas Freddy.
Menurut sejarah, para perempuan penghibur asal Jepang itu menyebar ke berbagai negara pada era Restorasi Meiji. Mereka masuk ke Surabaya pada 1860-an. Lalu, ketika kawasan Handelstraat makin ramai sekitar 1900-an, ada beberapa karayuki-san dipekerjakan di sana.
Banyak sejarawan menyebut bahwa asal usul nama Kembang Jepun diilhami oleh keberadaan para karayuki-san. Kembang artinya bunga, Jepun artinya Jepang. Jadi, Kembang Jepun adalah jalanan yang ditinggali oleh kembang-kembang dari Jepang.
Memang, narasi Kembang Jepun sebagai kompleks pelacuran ini bisa menjadi bahan perdebatan. Karena, memang tidak pernah ada yang secara tegas menyebut Kembang Jepun sebagai lokalisasi. Tidak seperti ketika orang menyebut Dolly, Kremil, atau Moroseneng. Bisa jadi, karena pelacuran begitu tabu pada zamannya. Sehingga tidak pernah diangkat menjadi berita.
Atau, bisa juga karena yang ada di Kembang Jepun adalah tempat hangout ’’biasa’’. Tempat orang makan-makan atau minum-minum. Tetapi, ada ’’layanan plus’’ yang bisa dinikmati pelanggannya.
Bukankah itu seperti kondisi saat ini, ketika di tempat rekreasi malam bisa didapati orang-orang yang menjual diri… (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
SERI BERIKUTNYA: Boen Bio, Simbol Perlawanan Terhadap Belanda
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: