Moms Tidak Perlu Khawatir, Baby Blues itu Normal dan Bisa Diobati

Moms Tidak Perlu Khawatir, Baby Blues itu Normal dan Bisa Diobati

Seorang wanita menggendong bayi-Oleksandr Pidvalnyi-Pexels

SURABAYA, HARIAN DISWAY – Masih banyak yang menganggap miring ibu yang mengalami baby blues. Studi mengatakan bahwa sindrom tersebut sebenarnya umum terjadi pada sang ibu pasca persalinan dan bisa diobati.

 

Mendengar tangisan bayi saat persalinan rasanya berbeda bagi setiap ibu. Ada yang merasa bahagia, karena buah hati berhasil lahir dengan selamat. Ada yang merasa ia harus menghadapi kenyataan bahwa ‘beban’ baru siap memberatkan hari-harinya, atau bahkan harus menangis karena kehilangan.

 

Hal itu nyata pernah dirasakan langsung oleh saudara dari Milda Malinda, seorang ibu muda asal Malang, yang saat ini berusia 24 tahun. “Kalau aku Alhamdulillah gak pernah merasakan itu. Tapi saudaraku, saat dia mulai tertekan dan gak bisa ngontrol emosinya, pernah anaknya yang masih bayi itu diceburkan ke dalam air. Dan dia sadar ngelakuin itu,” cerita Milda.

 

Melihat fenomena asli di depan matanya, ia pun mengamini bahwa merawat anak itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengontrol emosi karena tingkah diri sendiri saja terkadang sulit, apalagi menahan karena orang lain.

 

Menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Selain membutuhkan kesiapan mental dan finansial, seorang ibu harus berada dalam lingkungan yang selalu mendukungnya saat merawat anak.

 

Sejatinya, bila menilik pada cerita saudara Milda, si ibu tidak punya tempat untuk melampiaskan stress yang dideritanya. Tidak seorang pun yang mau mengerti, membuat psikis ibu semakin hancur.

 

Beberapa ibu juga mengaku bahwa sebenarnya mengalami baby blues adalah hal yang wajar. Seperti pendapat yang disampaikan Mawar (nama samaran), seorang ibu yang juga berprofresi sebagai pendidik, usia 23 tahun.

 

“Normal kok, baby blues itu. Soalnya ibu itu kan pertama kalinya harus menyesuaikan antara pola hidup sendiri dan juga anak yang seimbang. Misal, waktu istirahat. Kalau didukung sama suami, keluarga bakalan enjoy, tapi kalau gak? Pasti sulit,” jelas Mawar.

 

Menurut Elva Sepvira Fauzan, ibu rumah tangga berusia 22 tahun itu menyarankan diskusi dengan pasangan dan acuh dengan omongan orang lain, sangat membantu untuk meminimalisir terjadinya baby blues.

 

“Banyak kan, orang yang asal bilang gak boleh ini, gak boleh itu. Harus gini, harus gitu. Padahal mereka kan gak tahu kondisi dan kebutuhan sebenarnya gimana. Perlu sih acuh biar pikiran dan emosinya fokus, stabil,” Tutur Elva.

 

Disamping itu, setiap keluarga perlu menyadari bahwa sindrom kecemasan yang berujung depresi setelah melahirkan bisa diobati.

 

Dilansir dari Harvard Health Publishing, Stephanie Collier, seorang instruktur psikiatri di Harvard Medical School menyatakan bahwa baby blues merupakan reaksi sangat umum akibat penurunan kadar hormon setelah melahirkan.

 

Memungkinkan si ibu merasa sedih, menangis, kewalahan, bahkan obsesi terhadap sesuatu. Namun, gejala tersebut masih ringan dan biasanya berlangsung beberapa minggu. Ketika lebih dari itu, maka ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.

 

Secara umum, kecemasan setelah melahirkan dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif (CBT) termasuk OCD. Beberapa wanita juga bisa mengombinasi obat-obatan dengan terapi, seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan benzodiazepines. Namun, semuanya perlu dikonsultasikan dengan dokter karena obat-obatan tersebut akan berimbas pada ASI untuk bayi.

 

Jika kondisi tidak memungkinkan mengonsumsi obat-obatan, maka ada strategi khusus untuk mengurangi rasa cemas. Ibu bisa memeluk bayi sesering mungkin untuk melepaskan oksitosin tubuh yang dapat menurunkan tingkat kecemasan.

 

Kemudian, mulai memaksimalkan tidur dengan saling berbagi tugas dengan pasangan, atau menerapkan sleep trainer. Dan paling penting untuk mendapatkan validasi emosi dan semangat, bisa berbaur dengan ibu-ibu lainnya (yang positif) secara online maupun offline. (Hendrina Ramadhanti)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harvard health publishing