Series Jejak Naga Utara Jawa (32) : Bungker Rahasia dan Sumur Tua
Retna Christa keluar dari bungker yang ada di dalam kompleks Rumah Merah Heritage Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-
HARI sudah gelap ketika tim Jejak Naga Utara Jawa kelar ngobrol dengan Rudy Hartono. Ia sempat menunjukkan berbagai bagian di kompleks Tiongkok Kecil Heritage Lasem yang sangat luas itu.
Kompleks itu terdiri dari tiga bangunan utama. Dua bangunan, masing-masing di sisi barat dan timur, diubah menjadi penginapan. Yang timur lebih banyak difungsikan sebagai tempat menginap. Kalau di sana full booked, barulah tamu diarahkan menginap di bangunan barat. Kalau slow season, bagunan pertamayang dibeli Rudy itu—yang barat itu—dibuka untuk tur.
Bangunan tengah, yang bentuknya paling beda, difungsikan sebagai museum dan tempat penjualan batik. Mereknya Batik Tiga Negeri. Nah, di seberang jalan, ada satu rumah terpisah. Kalau siang dipakai ibu-ibu membatik. Kalau malam, pada hari-hari tertentu, ada live music.
’’One stop service. Ada penginapan, ada tempat makan, bisa buat meeting dan gathering juga. Mau belanja batik, tersedia,’’ kata Rudy. ’’Kalau mau jalan-jalan atau melihat-lihat saja juga bisa,’’ lanjut pria bernama asli Oei Sien Tjo itu.
Setiap bangunan punya halaman belakang yang lapang. Nyambung jadi satu. Memang ada tembok pemisah. Tapi ada pintu-pintu gerbang dekoratif yang menghubungkan ketiganya. Nah, masing-masing backyard menyimpan pesona tersendiri. Rudy benar-benar membuat kompleks Rumah Merah tak hanya one stop service. Tapi juga one stop entertainment.
’’Banyak spot foto. Instagrammable istilahnya,’’ kata Rudy, lantas tertawa.
Tembok merah dan pilar-pilar kuningnya cocok untuk background selfie. Di lorong antarbangunan terdapat lengkung-lengkung cantik buat foto OOTD.
Belum lagi pintu penghubung antara halaman belakang Rumah Merah dan Rumah Batik yang dibuat khas benteng-benteng Tiongkok. Bingkainya yang setengah lingkaran dicat kuning. Sedangkan daun pintunya dari besi bermotif kotak-kotak merah. Pintu itu ternyata ada namanya. Yakni Lengkung Harmoni.
Nah, di salah satu backyard, terdapat satu objek lagi yang sering ditunjukkan kepada pengunjung. Yakni sumur kuning. Berupa sumur timba lawas yang dicat kuning. Cat kuningnya jelas baru. Demikian pula timbanya. Yang diwarnai merah dan dilukis dengan motif ombak. Namun, sebagaimana rumah-rumah tua di Lasem, sumur itu juga sudah berumur ratusan tahun.
Meski katrolnya sudah agak berkarat, sumur itu masih difungsikan hingga kini. Pengunjung Rumah Merah bisa mencoba menimba airnya. Menurut cerita, air di sumur itu tidak pernah surut. Dan konon katanya, airnya bisa memberikan keberuntungan bagi siapa pun yang menggunakan.
Sumur kuning di dalam kompleks Rumah Merah Heritage Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Tim Jejak Naga Utara Jawa berencana check-out pagi-pagi. Untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain. Namun, pesona Rumah Merah Lasem membuat kami tak bisa lekas beranjak. Ketika koper-koper sudah ditata manis di mobil pun, kami masih kepingin menjelajah.
Maka, melangkahlah kami ke rumah sisi barat. Kali ini, ditemani oleh salah seorang pegawai Rudy yang bernama Shafind Firstnanda Aditya. Karena masih pagi, belum ada rombongan tur yang berkunjung. Kami leluasa menjelajahi tiap ruangannya.
Di rumah itu, di belakang partisi yang memisahkan aula tengah dengan bagian belakang rumah, terdapat sebuah lemari. Tak dikunci. Iseng, kami membukanya. Ternyata lemari itu menyembunyikan anak tangga.
Kami naik. Tidak ada apa-apa. Hanya loteng berlantai kayu nan berdebu. Namun, itu menunjukkan kondisi asli rumah yang tidak dipermak. Kami jadi bisa membayangkan betapa keras upaya Rudy memperbaiki rumah-rumah kuno yang dibelinya. Hingga menjadi semewah sekarang.
Loteng kosong di atas kamar-kamar Rumah Merah Heritage Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-
Shafind kemudian mengajak kami ke sayap kiri rumah. Ada semacam panel pintu merah yang tampak mencolok di antara tegel terakota. ’’Coba dibuka,’’ cowok 19 tahun itu berkata.
Pintu itu menunjukkan sebuah anak tangga ke ruang bawah tanah. Sempit. Hanya bisa dilalui satu orang. Langit-langitnya juga rendah. Tak sampai 170 sentimeter. Kami harus merunduk-runduk agar tidak terantuk.
’’Bungker ini dibangun pada masa penjajahan Jepang. Untuk tempat berlindung kalau tentara Jepang menyerang sewaktu-waktu,’’ jelas Shafind. ’’Ini sebenarnya nyambung ke rumah sebelah. Tapi sekarang ujungnya ditutup. Karena sudah enggak dipakai juga,’’ lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: