Series Jejak Naga Utara Jawa (41) : Piring-Piring Putri Ong Tien
Seorang pengunjung memvideokan piring-piring keramik peninggalan Putri Ong Tien Nio di pagar Siti Hinggil Keraton Kasepuhan Cirebon.-Retna Christa-Harian Disway-
Awalnya, kami hanya ingin melihat gaun Putri Ong Tin Nio. Putri Tionghoa yang merupakan istri Sunan Gunung Jati. Namun, itu akan kami ceritakan nanti. Karena selain gaun berusia ratusan tahun tersebut, keraton Kasepuhan benar-bener menawan hati.
Ditemani Raden Nanung Suradi, Wakil Kepala Pemandu Yayasan BPKK, kami menjelajahi keraton seluas 2,5 hektare tersebut. Tentu, kami tidak jalan-jalan sejauh itu. Alasan pertama, memang tidak semua wilayah keraton boleh dimasuki oleh kami, rakyat jelata ini. Alasan kedua, kami takut gempor.
Cirebon memang memiliki hubungan erat dengan Tionghoa. Menurut cerita, pada 1471, Sunan Gunung Jati pergi ke Tiongkok. Atas undangan Kaisar Hong Gie. Putri kaisar, Ong Tien Nio, jatuh cinta pada pemuka agama yang tampan dan berwibawa tersebut. Dia minta dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati. Tapi sang ayah tidak mengizinkan.
Sunan pulang ke Cirebon. Rupanya sang putri tak bisa melupakannya. Dia minta izin kepada Kaisar untuk menyusul pujaan hatinya. Melihat keteguhan cinta sang putri, Kaisar Dinasti Ming itu luluh.
Ong Tien diperbolehkan pergi ke Jawa, dengan armada beranggotakan tujuh kapal. Penuh dengan barang-barang pribadi putri, sekaligus bermacam hadiah untuk sunan. Berikut surat permohonan dari Kaisar agar putrinya dinikahi.
Nah, beberapa barang peninggalan Putri Ong Tien masih tersimpan rapi di Museum Kasepuhan. Tapi, ada juga yang menempel di dinding-dinding keraton. Yakni piring-piring keramik cantik bermotif khas Dinasti Ming.
’’Sebenarnya, kalau piring lebih banyak ada di makam Sunan Gunung Jati. Tapi di sini pun lumayan banyak,’’ jelas Raden Nanung, yang hari itu mengenakan seragam ’’kebesaran’’. Berupa beskap hitam, kain jarit bermotif mega mendung, serta blangkon. ’’Yang perlu diingat, piring-piring keramik itu membawa misi keislaman,’’ tambahnya.
Nanung mengajak kami menyusuri jalan setapak yang menghubungkan Jinem Pangrawit (bagian depan bangsal Keraton Kasepuhan) dengan bagian dalam. Kami melewati sebuah pintu gerbang melengkung.
Selain dihiasi ukiran berbentuk kelopak bunga dan sulur-sulur, gerbang—yang disebut buk itu—tampak cantik berkat piring mungil aneka warna. Hijau, biru, kuning, dan orange keemasan. Ada motif-motif yang kalau dari jauh tampak seperti tulisan Arab.
Salah satu piring warna hijau, sepertinya bertulisan Allah subhanahu wa ta’ala. Tapi, kalau didekati ternyata bermotif naga. ’’Orang sana (Tiongkok, Red) kalau mau menyebarkan Islam itu caranya sangat tidak kentara. Ini kan seolah-olah memperlihatkan budaya saja. Tapi kalau dilihat-lihat, kok mirip lafaz Allah SWT, ya,’’ Nanung memberi contoh.
Ada lagi, piring putih bermotif coretan-coretan tinta tak beraturan. Tapi, dari jauh, seperti kutipan ayat Alquran.
Di puncak buk itu, terdapat sebentuk tiara yang disemen begitu saja. Berhiaskan batu mulia berwarna kuning. ’’Itu diperkirakan mahkota Putri Ong Tien. Sayang belum ada catatan sejarah yang membuktikannya,’’ jelas Nanung.
Puluhan piring keramik dari Tiongkok menempel di dinding pagar Keraton Kasepuhan Cirebon. Mereka bersanding dengan keramik persegi dari Belanda.-Retna Christa-Harian Disway-
Keramik-keramik Dinasti Ming menempel di berbagai sudut keraton. Kadang tempatnya pun terasa random. Misalnya, di semacam gazebo kecil di halaman samping keraton. Di sisi luar Bangsal Pringgondani, tempat sang raja meeting dengan patih dan menteri-menterinya. Motifnya macam-macam. Mulai bunga-bungaan sampai hewan-hewan mitologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: