Menafsir Sikap Politik Gus Yahya C. Staquf

Menafsir Sikap Politik Gus Yahya C. Staquf

Ilustrasi Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf.--

DALAM waktu sebulan, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berbicara di depan dua partai politik. Yakni, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dua partai tersebut memang mengundang Gus Yahya –demikian ia biasa dipanggil– untuk hadir. Apalagi, kedua partai tersebut menghadirkan tokoh muslim paling berpengaruh ke-19 di dunia itu dalam rangka memperingati 1 Abad NU.

Lantas, kapan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengundang Gus Yahya di acara partainya? Yang pasti, partai yang dipimpin Muhaimin Iskandar alias Cak Imin itu sudah menggelar juga peringatan 1 Abad NU. Namun, tanpa menghadirkan Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU.

Malah Cak Imin bersafari ke sejumlah kiai di Jatim pasca Peringatan 1 Abad NU di Sidoarjo awal bulan lalu. Media sosial PKB dan Cak Imin terus-menerus menyebarkan kegiatan politiskus alumnus UGM itu dalam menggalang dukungan di lingkungan NU Jatim.

Rupanya hubungan sesama alumnus Fisipol UGM itu belum nyambung kembali. Setelah Gus Yahya resmi terpilih menakhodai NU yang selama ini menjadi basis utama PKB. Bahkan, partai yang diinisiasi KH Abdurrahman Wahid dan sejumlah kiai sepuh itu didirikan sebagai sayap politik NU.

Sejak menjadi ketum PBNU, Gus Yahya memang tidak lagi mengistimewakan PKB. Ia membuka pintu lebar ke partai lain untuk juga berkhidmah ke NU. Juga, membuka ruang yang sama kepada partai lain untuk memperebutkan suara NU. NU adalah rumah bersama bagi semua untuk berbuat atas nama umat dan bangsa Indonesia.

Sejak sebelum menjadi Ketum PBNU, ia meyakini bahwa NU didirikan bukan sekadar untuk mewadahi para ulama ahlus sunnah wal jamaah. Apalagi, sekadar respons terhadap munculnya gerakan Wahabisme yang saat itu menghilangkan situs-situs penting terkait dengan Nabi Muhammad SAW.

Ia meyakini bahwa NU didirikan KH Hasyim Asy’ari untuk membangun peradaban baru. Peradaban dengan kepemimpinan ulama. Setelah peradaban Islam dipimpin kaum militer dan politisi. Itu terjadi sejak pertengahan pemerintahan Umaiyah.

Di abad kedua usia NU, Gus Yahya ingin membawa gerbong besar itu untuk mewarnai peradaban baru dunia. Tidak sekadar menjadi jamiyah yang besar di Indonesia. Tetapi, menjadi inspirasi dalam menyelesaikan persoalan dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak ingin NU yang besar ini merambah ke persoalan yang lebih mikro.

Kata kunci yang dibawa adalah peradaban baru dengan kepemimpinan para ulama. Bukan kepemimpinan militer dan politisi. Itu tidak berarti para ulama akan merebut kepemimpinan politik. Tapi, lebih menjadi rujukan utama dan tempat bersandar para politikus dalam menjalankan kepemimpinannya.

Karena itu, bukan partai politik yang ”mendikte” agenda dalam menjalankan peran ke-jamiyah-an atau keorganisasiannya. Sebaliknya, partai politiklah yang harus menawarkan program-program dan visi yang sesuai dengan arah perjuangan NU. Siapa pun partai politik yang ada di negeri ini.

Ia tidak ingin NU menjadi alat politik. Apalagi, alat politik bagi salah satu partai. Sebab, jika NU menjadi alat salah satu partai politik, warga NU yang berafiliasi ke lain parpol akan menjadi terabaikan. Setidaknya akan merasa tidak ”di-uwong-kan” oleh NU. Ormas Islam terbesar ini harus menjadi payung keumatan untuk semua. 

Sikap politik itu sejalan dengan realitas keumatan. Berbagai survei menyebutkan bahwa warga Indonesia yang mengaku berafiliasi dengan NU lebih dari 50 persen muslim di Indonesia. Itu jelas jumlah yang sangat besar. Tidak ada satu pun partai politik di Indonesia yang punya konstituen sebesar itu.

PDI Perjuangan yang menjadi pemenang dalam pemilu terakhir hanya memperoleh suara sekitar 19,33 persen. PKB 9,69 persen dan PPP 4,52 persen. Dari realitas tersebut, tidak masuk akal jika salah satu partai ”menguasai” NU. Termasuk partai yang dalam sejarahnya didirikan PBNU sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: