Cheng Yu Pilihan Wakil Dekan International College, Zhejiang University Wei Jianhua: He Mu Xiang Chu

Cheng Yu Pilihan Wakil Dekan International College, Zhejiang University Wei Jianhua: He Mu Xiang Chu

Cheng Yu Wei Jianhua--

ADA satu kalimat terkenal dalam bahasa Mandarin yang amat disukai Wei Jianhua 魏建华. Kalimat tersebut merupakan pernyataan Fei Xiaotong (1910–2005), antropolog sekaligus sosiolog yang sangat dihormarti, ketika dulu merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Bunyinya: "各美其美,美人之美,美美与共,天下大同" (gè měi qí měi, měi rén zhī měi, měi měi yǔ gòng, tiān xià dà tóng). Di Tiongkok, kalimat ini dikenal dengan sebutan "wejangan 16 huruf untuk mengelola hubungan antarbudaya". 

Tentu, terjemahan bahasa Indonesianya tidak akan sependek bahasa aslinya. Begini kira-kira: "Tiap keindahan, indah menurut pemiliknya masing-masing. Yang harus kita lakukan, berilah pengakuan pada keindahan yang diciptakan oleh orang lain. Tiap keindahan mesti hidup bersama dengan harmoni. Dengan begitu, baru akan tercipta kedamaian di muka bumi."

"Maksudnya, kita harus mengakui bahwa terdapat berbagai macam budaya di dunia dan menghormati budaya dari setiap suku bangsa. Sebab, budaya yang satu akan turut memperkaya budaya-budaya lainnya. Dari situ, kita akan bisa bersama-sama mendorong kemajuan dan kemakmuran umat manusia," terang Wei Jianhua, yang merupakan wakil dekan International College, Zhejiang University of Science and Technology, Tiongkok.

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Presiden Direktur PT Amtech Suyono Indra: Le Shan Hao Shi

Dengan cara demikian, diharapkan akan tercipta apa yang dibilang pepatah Tiongkok, "和睦相处" (hé mù xiāng chǔ): hidup berdampingan dengan damai. 

Wei Jianhua telah lebih 20 tahun berkutat dengan pendidikan mahasiswa dari mancanegara yang berkuliah di kampusnya. Dia begitu menyukai keberagaman budaya yang dibawa para mahasiswanya dari negara-negara berbeda, termasuk dari Indonesia.

"Saya sering ke Indonesia. Saya sangat menikmati kebudayaan Nusantara, terlebih makanan dan batiknya," ujar Wei Jianhua.

Kadang ironi. Di satu sisi, kita bangga ada orang asing yang mencintai dan mau mempelajari budaya kita, tapi di sisi lain kita malah mengagung-agungkan –dan bahkan mau mengganti budaya sendiri dengan-- budaya luar. (*)

 

Sumber: