Transformasi Gus Ipul
Ilustrasi Saifullah Yusuf atau Gus Ipul-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SAYA dapat undangan khusus pekan lalu. Menghadiri halalbihalal dengan tema Bergembira Saling Memaafkan yang digelar Wali Kota Pasuruan Saifullah Yusuf. Itu bisa saja halalbihalal terakhir sekretaris jenderal PBNU tersebut sebagai wali Kota Pasuruan.
Gus Ipul –demikian orang nomor satu di Pasuruan itu biasa dipanggil– mungkin saja masih digandoli warga Kota Pasuruan. Namun, terlalu kecil Kota Pasuruan menjadi tempat ia untuk berkiprah bagi negeri ini. Perlu panggung yang lebih besar.
Apalagi, sejak 2022, ia dipercaya Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf untuk menjadi pembantu terdekatnya. Menjadi sekjen PBNU. Itulah tangan kanan dari seorang kiai yang menurut hasil riset mempunyai jamaah hampir 140 juta jiwa tersebut.
Jelas, PBNU adalah menjadi panggung besar bagi Gus Ipul. Tapi, itu bukan panggung pengabdian bagi seorang dengan pengalaman politik dan birokrasi yang panjang. Itu adalah panggung berkhidmah. Panggung keumatan bagi seorang yang di dalam dirinya terdapat darah muasis NU.
Gus Ipul masih punya banyak residu sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan negeri dan bangsa ini.
Ia punya kompetensi yang melebihi dari standar kebutuhan dari seorang sekjen. Ia punya kompetensi yang tidak banyak dimiliki kader NU. Apa itu? Kompetensi politis dan teknokratis.
Gus Ipul adalah salah seorang keponakan Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid. Ia keponakan yang punya privilese pernah tinggal bersama Gus Dur. Sering diajak bepergian sejak muda. Dengan demikian, Gus Ipul mengenal jangkuan pertemanan dan jaringan ketokohan Gus Dur. Sanad ideologi politiknya jelas.
Kesempatan itu tak dimiliki keponakan Gus Dur lainnya seperti Muhaimin Islandar yang kini menjadi ketua umum DPP PKB. Selain tinggal di rumah Gus Dur saat masih muda, Gus Ipul ke Jakarta karena diminta Gus Dur. Setelah ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pasuruan.
Dari Mega ke Gus Yahya
Sejak di pendidikan menengah, ia sudah berkawan dengan Gus Yahya –panggilan akrab Yahya Cholil Staquf. ”Saya pernah menjadi tim suksesnya Saipul untuk menjadi ketua umum IPNU. Tapi, waktu itu belum berhasil,” ceritanya beberapa tahun lalu. Itu menunjukkan hubungan batin Gus Ipul dengan Gus Yahya sudah terjalin lama.
Keduanya dibedakan dalam karier yang berbeda. Setelah ditinggal ayahnya, KH Cholil Bisri, sebagai anak pertama, Gus Yahya punya kewajiban untuk meneruskan kepemimpinan pondok pesantren yang telah didirikan kakeknya, KH Bisri Mustofa. Karena itulah, ia tak sempat menyelesaikan pendidikan formalnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Sedangkan Gus Ipul sempat menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Gus Ipul yang sejak lulus sekolah menengah atas ”diadopsi” Gus Dur lantas menerjuni dunia politik. Ia ”dititipkan” Gus Dur ke Megawati Soekarnoputri. Sejak itu, Gus Ipul menjadi ”penghubung” antara putri Bung Karno itu dengan Gus Dur.
Dalam Pemilu 1999, Gus Ipul sempat menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan. Itu wajar. Sebab, Gus Ipul jauh sebelum tahun itu sudah sering membersamai Mbak Mega –demikian ia dan kawan-kawannya biasa memanggil. Sebelum Mbak Mega menjadi ketua umum PDI Perjuangan, Gus Ipul tidak jarang menjadi sopirnya setiap kali berziarah ke Makam Bung Karno atau kunjungan ke Jatim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: