Babinsa Inspiratif Sertu Ali Mustofa, Motivator Peduli Seni Tradisi

 Babinsa Inspiratif Sertu Ali Mustofa, Motivator Peduli Seni Tradisi

Sertu Ali Mustofa bersama pemuda yang diajak peduli kesenian tradisional.-Boy Slamet-

NGAWI, HARIAN DISWAY – Dalang cilik, Ridho Cahyo Utomo memainkan dua gunungan di tangan. Lincah, dalang 13 tahun itu melempar wayangnya sembari bersenandung. 

Di belakang anak itu, terdapat beberapa pemain gamelan yang usianya sebaya. Mereka merupakan anggota dari Sanggar Seni Bodromoyo, Kedungputri, Ngawi. 

Sanggar Bodromoyo punya reputasi mentereng. Ridho, misalnya, menjadi juara 1 dalam Festival Dalang Cilik tingkat Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh UPT Taman Budaya Jawa Timur pada 2022 silam. 

Semangat dan rasa ingin terus belajar itu muncul berkat motivasi dari Babinsa Posramil Gerih, Ngawi, Sertu Ali Mustofa. 


alang cilik, Ridho Cahyo Utomo memainkan wayang kulit didampingi Sertu Ali Mustofa.-Boy Slamet-

“Generasi muda seperti mereka harus punya kemauan untuk nguri-uri seni tradisi. Kalau tak ada yang melestarikan, tak dilanjutkan secara estafet, tradisi kita bisa punah,” ungkapnya. Sore itu, 16 Mei 2023, ia didampingi rekannya, Peltu Parji dan Dwi Sukarno, ketua Sanggar Seni Bodromoyo. 

Pun, jika tak ada yang memotivasi dan memberi contoh positif, generasi muda dapat berpaling dari budaya mereka sendiri. “Itulah alasan mengapa peran Pak Sertu Ali sangat penting bagi anak-anak ini. Sebab beliau yang memberi dorongan,” ujar Dwi.

Sertu Ali mulai terlibat untuk berkontribusi dalam sanggar sejak 2022. Tak berapa lama setelah Hari Wayang Nasional pada tahun tersebut. Ia tertarik dengan penampilan para pengrawit dan dalang muda dari Sanggar Seni Bodromoyo. 

“Mereka sudah sangat layak tampil. Berprestasi pula. Tapi ketika ada kegiatan desa, mereka bermain wayang dan gamelan hanya di pelataran warga. Kan sayang,” ungkapnya. 

Bagi Sertu Ali, penampilan mereka seharusnya ditempatkan di panggung yang layak, event yang prestisius, sehingga nama mereka dapat semakin dikenal publik. 

Karena saat itu tak ada yang memiliki jangkauan relasi dengan instansi dan orang-orang berpengaruh, maka Sertu Ali yang berperan menjembatani. “Saya menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, supaya lebih peduli pada eksistensi seni tradisi. Apalagi yang dimainkan oleh anak muda,” ungkap pria 43 tahun itu. 

Berkat Sertu Ali, keinginan para anggota Sanggar Seni Bodromoyo terpenuhi. Mereka tampil di event-event besar yang beberapa diantaranya diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Pun, semakin banyak mendulang prestasi. 

Tak hanya memotivasi, Sertu Ali juga mengajarkan budaya Jawa yang perlahan-lahan semakin ditinggalkan pada zaman kini. Misalnya tradisi unggah-ungguh. “Saya ajari mereka, contohnya, kalau lewat di depan guru atau orang yang lebih tua, jalannya harus sambil menunduk,” terangnya. 

Juga bersama Dwi, ketua merangkap pengajar, menciptakan kebiasaan baru yang dilandasi kesetaraan. “Disini tak ada yang memanggil le atau nduk. Semuanya belajar. Jadi kami memanggjl mereka dengan ‘mas' atau ‘dik',” ujar Dwi. 

Sebab, panggilan ‘le' atau ‘nduk' mengesankan adanya hirarki dan batasan. Berbeda dengan panggilan ‘mas' atau ‘dik'. Panggilan itu akan membuat lawan bicara merasa dihormati. Sehingga proses belajar-mengajar pun berlangsung gayeng, tanpa tekanan, serta semua materi yang diberikan dapat lebih mudah dipahami oleh anak-anak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: