Penjurian Lapangan Brawijaya Awards (2): Pak Boy, Anggota Tim Paling Tua Tapi Paling Usil
Ketua tim 1, Guruh Dimas Nugraha (bertopi) sedang menggali informasi terkait kegiatan babinsa finalis.-Boy Slamet-
Di Magetan, tim 1 berkunjung ke Desa Panekan, menemui Pelda Masyhuriah dan Rumah Pintar Nawasena-nya. Menilik kegiatan dan kontribusi Pelda Masyhuriah, kemudian kami menuju daerah Maospati. Di sana kami menemui Pelda Sigit Santoso, seorang pranata cara atau MC Jawa.
Tak ada yang lebih indah daripada senyum dan tawa anak-anak. Apalagi mereka akrab dengan Pelda Masyhuriah, Babinsa Kecamatan Panekan, sebagai Kepala Rumah Pintar Nawasena. Seorang prajurit yang dekat dengan mereka.
Ketua tim 1, Guruh Dimas Nugraha yang sedang tidur menjadi sasaran keisengan fotografer, Boy Slamet.-Boy Slamet-
Citra tentara yang biasanya tegas, garang, dan disiplin itu ternyata bisa lembut pada anak-anak. Juga pada masyarakat. Kaum muda hingga warga Panekan telah mengenal Pelda Masyhuriah dengan baik.
Babinsa Kecamatan Panekan itu mengajak para siswa TK Pertiwi 1 untuk menanam bibit dalam polybag. Mengajarkan tahapan demi tahapan. Setelah ditanam, anak-anak itu membawa bibit mereka ke rumah. "Nanti dibawa pulang. Kalau kesini lagi, diceritakan ya. Mulai dari tumbuh, jadi kecambah, kemudian jadi besar," ujarnya.
Sederhana. Tapi justru hal itu membentuk karakter anak-anak, sekaligus kemampuan untuk bercerita. Tentu pengalaman menanam membuat anak senang. Mereka dilatih menghargai sebuah proses serta kemandirian.
Dosen Probo Darono Yakti diajak Camat Panekan, Dicong Maleleh, untuk meninjau pengolahan sampah di belakang bangunan Rumah Pintar Nawasena. Di sana terdapat pula pengolahan maggot. Pemerintah desa setempat bersama Babinsa mampu memberdayakan masyarakat lewat inovasi-inovasi itu.
Fotografer Harian Disway, Boy Slamet bersama videografer Azka mendokumentasi kegiatan tersebut.
Setelah meninjau Rumah Pintar Nawasena, kami berangkat menuju tempat kedua di Magetan. Yakni kediaman Pelda Sigit Santoso. Kapten Sunaryo, Pasiter Koramil Magetan mendampingi kami dalam perjalanan.
Kota Magetan merupakan kota yang asri. Kami melewati pinggiran sungai dengan pepohonan rimbun. Bayang Gunung Lawu yang gagah, menambah keindahan suasana. Angin semilir membuat saya sliut-sliut, alias sedikit mengantuk. Apalagi mobil Honda B-RV yang kami tumpangi sangat nyaman. Melaju lancar tanpa kendala sedikit pun.
Baru saja saya mendirikan layar untuk mengarungi bahtera menuju pulau kapuk, Pak Boy mencolek lengan saya berkali-kali. "Ruh, ruh, jare turu, ruh (Ruh, katanya mau tidur)?," katanya.
Berkali-kali ketika saya hendak terlelap, Pak Boy selalu membangunkan dengan cara seperti itu. Sehingga saya tak diberi kesempatan sedikit pun untuk tidur. Untung senior dan paling tua di tim 1. Jika tidak, saya meminta mobil untuk berhenti, lalu saya turun dan kembali ke Surabaya jalan kaki.
Kami melewati jalan pedesaan lalu sampai di perempatan jalan besar. Menyeberang, masuk ke Desa Maospati, Kecamatan Magetan. Di sana terdapat salah satu Babinsa inspiratif kategori seni-budaya, Pelda Sigit Setiono. Ia sebenarnya merupakan Babinsa Barat. Namun tinggal di Desa Maospati.
Rumah Pelda Sigit khas bangunan Jawa. Ia menyambut kedatangan kami, tim juri, bersama beberapa perwakilan dari Koramil Magetan serta dua perangkat desa. Rupanya, selain sebagai tentara, Pelda Sigit adalah seorang pranata cara atau MC Jawa.
Di depan tim juri, ia menunjukkan kelihaiannya berbicara bahasa Jawa ala seorang pranata cara. Baginya, seorang MC Jawa harus memahami tata wicara atau pedoman berbahasa Jawa yang baik, serta reneping wicara, atau bagaimana cara menarik audiens. Pelda Sigit sangat menguasai kedua hal itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: