Penjurian Brawijaya Award (16): Ketangguhan All New Honda BR-V Mendaki Kaldera Bromo

Penjurian Brawijaya Award (16): Ketangguhan All New Honda BR-V Mendaki Kaldera Bromo

Foto bersama juri Babinsa Inspiratif Brawijaya Awards dan anggota Koramil 0820/11 Sumber, Probolinggo, Selasa (16/05/2023).-Syahrul Rozak Yahya-

“Matic ya mas?” kata mas Gito mengulangi pertanyaan Kapten Ari. 

“Memang kenapa ndan?” terjadi percakapan itu lagi. 

“Oh nggak, gak papa,” kata Mas Gito begitu kami menggelinding meninggalkan Kodim menuju jalan raya  Wonoasih. 

Saya sendiri jadi bertanya-tanya, adakah jalan yang akan kami tempuh begitu ekstremnya sampai para bapak-bapak serdadu yang tentu mental dan fisiknya puluhan kali lipat lebih keras dari kami ini khawatir? Waduh gimana dong. 

Tapi saya percaya saja dengan mereka. 

Mobil pun melaju tenang. Saya salah sangka. Saya pikir ini jalur ke Bromo via Sukapura yang mulus dan merupakan jalur utama pariwisata. Ternyata ini jalur Bantaran. Yang biasa dipakai pelancong kalau mau naik ke puncak B29 dari arah Probolinggo. Mendadak rencana menginap tim kami jadi kacau. Ledokombo maupun Sumber bukan tempat wisata. Menemukan losmen bisa sangat sulit. Tidak seperti di Sukapura. 

Mobil semakin mendekati kaki pegunungan. Sebentar lagi sinyal juga bakal susah. Saya harus berpikir cepat.

Namun hati saya bersorak saat mengetahui bahwa target kami selanjutnya, Desa Senduro, berbatasan langsung dengan Ledokombo. Saya sempat bertanya pada bapak-bapak staf ter Kodim apakah mungkin menyeberang malam hari dari Ledokombo ke Senduro. “Nanti mas kita rembuk di atas,” jawab mereka.

Saya semakin deg-degan. 

Saya pun mengontak Babinsa Desa Senduro, Serka Pribawono. Berkoordinasi tentang acara penilaian besok, juga bertanya ini itu untuk mendapatkan gambaran medan yang lebih baik sehingga saya bisa ambil keputusan. “Ada hotel di Senduro. Namanya Soemenake. Nginap disitu saja mas,” kata Pribawono. 

Yosh! Masalah penginapan beres. Setidaknya sudah ada target. Tinggal bagaimana menyeberang malam hari. Seberapa besar resikonya. Saya kembali telepon sana-sini. Termasuk mengabari Ketua Tim Juri pusat bahwa Tim 3 akan molor dan menghabiskan banyak biaya. Mungkin seisi mobil sampai jengah mendengarkan saya bertelepon ria seperti ibu-ibu komplek kalah arisan. 

Blep! sinyal pun hilang. Hape saya kantongi. Tidak terasa mobil sudah mulai mendaki dinding Kaldera. Menembus hutan pinus yang semakin rimbun dan semakin remang. 

“AC matikan pak Gito. Jendela buka semua,” kata saya pada penumpang mobil.

Kami tak banyak berbincang. Hanya mesin All New Honda BR-V yang mengerang di RPM tinggi untuk menaklukkan tanjakan yang bisa sampai 30 derajat kemiringan itu. Sambil berharap tidak terjadi masalah. 

“Saya dikasih tanah 1.000 meter persegi di sini masih mikir-mikir,” komentar Pak Yusuf, juri dari tim dosen FISIP Unair melihat medan yang terjal, terpencil, dengan hiasan batu dan kerikil ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: