Penjurian Lapangan Brawijaya Award (18): Pusat Agama Hindu yang Disatukan Kalimat Sakti

Penjurian Lapangan Brawijaya Award (18): Pusat Agama Hindu yang Disatukan Kalimat Sakti

ELEMEN PEMERSATU di Desa Ledokombo, (dari kiri) Kepala desa Ledokombo Masaendi, Pemuka agama Islam Jurwoko, Babinsa Ledokombo, Probolinggo, Pelda Ahmad Rido'i, pemuka agama Hindu Adi Santoso, dan sesepuh Pura Amerta Jati Loji Titi Luhur Anto. -Syahrul Rozak Yahya-

SIAPAPUN yang bertugas di Kecamatan Sumber, Probolinggo, harus dilengkapi dengan kesabaran yang luar biasa. Berada di ketinggian 1.000 sampai 2.000 meter diatas permukaan laut (mdpl), desa-desa di Kecamatan Sumber senantiasa diselimuti kabut putih tebal selepas ashar. 

Tapi kondisi ini bahkan bukan yang terburuk. “Ini lumayan, mas. Biasanya sore hari disini selalu hujan,” kata Lettu (Kav) Hasan Duhri, Danramil Kecamatan Sumber.

Klaster-klaster pemukiman kecil tersebar di antara punggung bukit dan ceruk pegunungan. Banyak di antaranya yang dipisahkan oleh jurang puluhan meter dalamnya. Menghubungkan mereka, adalah jalanan kecil meliuk-liuk di atas ‘punggung naga’. Beruntung, sebagian besar sudah aspal dan beton. 

Jalur Ledokombo memang ekstrem. Beberapa kilo meninggalkan Sumber jalan memang aspal mulus menyusuri jalur ular. Namun semakin menanjak, jalan berubah menjadi makadam. Sebagian dengan permukaan batu-batu besar yang cukup tajam. 

Sekitar pukul 16.00 WIB kabut semakin tebal. Jarak pandang mungkin kurang dari 50 meteran saja. Kabut tebal tersebut terkondensasi membasahi jaket, celana, bahkan ujung-ujung batu makadam. Sebagian mengembun di bulu mata. 

“Di sini penduduknya mayoritas Hindu. Selepas Sumber itu sudah banyak yang Jawa Tengger. Kalau masih di bawah banyak Madura-nya,” cerita beliau. 

Pukul 4 sore lebih sedikit, saya mencapai Ledokombo. Tim Pasiter dan Tim Danramil sudah tiba duluan. Fiu juga sudah tampak di Pura mengambil stok footage. Mobil Honda B-RV belum kelihatan. 

Lokasi penyambutan adalah Sanggar Amerta Loji Jati Luhur. Sebuah Pura desa yang cukup besar dengan Gapura Bentar yang cukup besar. Pura ini tidak mengikuti susunan Tri Mandala sebagaimana pura pada umumnya. 

Di belakang Gerbang Bentar, hanya ada dua bangunan utama. Yakni sanggar pamujan dan sebuah punden berbentuk pendopo seukuran kira-kira 5x5 meter. 

Kami disambut bak pejabat tinggi dari tanah seberang. Begitu saya dan Pak Yusuf menginjakkan kaki di pelataran, tabuhan gamelan rancak yang dimainkan oleh anak-anak muda tengger menggema menembus kabut yang diiringi oleh bau dupa wangi. 

Tokoh-tokoh masyarakat berbaris menyambut kami. Mangku Pura Romo Adi Siwa dan Kepala Desa Ledokombo Masaendi berdiri di depan memegang udeng tengger bermotif batik. 

Namun sudah beberapa tahun belakangan ini dua agama kerap bertemu dalam satu momen. Mereka menggunakan udeng khas tengger. Menandakan bahwa apapun agama yang mereka anut, tetap dalam satu ikatan kerabat penghuni lembah Gunung Tengger. 

Instrumen pemersatu lainnya adalah salam kuno bermuatan doa. Hong, Ulun Basuki Langgeng. Hong adalah takwil dari aksara jawa Ha dan Nga. Atau dua aksara suci Ah dan Ang. Ulun, bahasa Bagongan yang artinya ‘saya’ atau ‘kami’. Basuki berarti selamat, Langgeng artinya abadi, senantiasa, terus-menerus. 

“Ha adalah aksara jawa pertama. Nga adalah yang terakhir. Jadi meliputi semua yang awal dan akhir dari diri ini, berharap berkah keselamatan dari Tuhan YME,” Jelas Romo Mangku Adi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: