Penjurian Lapangan Brawijaya Award (19): Pusat Kosmis Agama Hindu di Tengah Pemukiman Muslim
Tim Juri 3 dari kanan, Sayhrur Rozak Yahya, Achmad Fiuzani, Taufiqur Rahman, dan Drs Yusuf Ernawan menikmati pagi sebelum melakukan sesi penilaian.-Istimewa-
DESA SENDURO bersemu merah saat Bhatara Surya bangkit dari peraduannya. Melukiskan sinar merah keemasan pada daun-daun, punggung bukit, dan atap rumah-rumah warga.
Nun jauh di Barat, berhiaskan cahaya keemasan, berlatar langit yang biru cerah tanpa awan, berdiri tegak Gunung Semeru dengan tubuhnya yang membiru dan puncaknya yang kelabu. Sesekali menyeruak awan putih dari puncak tertinggi di seluruh Jawadwipa itu.
Susunan antara Sang Surya di timur, Argo Semeru di Barat, dan Pura Mandara Giri Semeru Agung di tengah-tengahnya mengingatkan kita pada kisah-kisah epik dalam kosmologi hindu. Mandara Giri.
Itu adalah nama sebuah gunung yang disebutkan dalam Kitab Wisnupurana episode pengadukan lautan susu (Samudera Manthana).
Gapura Bentar di gerbang utama Pura Mandara Giri Semeru Agung.-Syahrul Rozak Yahya-
Gunung Mandara yang kadang disebut sebagai salah satu pilar dari puncak suci Mahameru, dicabut oleh para Dewa dan Asura, dibawa ke tengah lautan susu sebagai alat pengaduk lautan. Tujuannya adalah untuk menemukan air suci Tirta Amerta yang bisa membuat abadi siapapun yang meminumnya.
Dewa ular Sanghyang Basuki lantas dililitkan melingkar pada Gunung Mandara. Tubuh Basuki kemudian ditarik di satu ujung oleh para dewa dan di ujung lain oleh para Asura, hingga lautan Mantan pun bergolak.
“Srupuuut…” itulah lamunan saya di pagi kedua penjurian Brawijaya Awards, 17 Mei 2023 sambil menikmati segelas teh hangat.
Melintasi jurang Tertek dari Ledokombo ke Senduro tadi malam rasanya keputusan yang tepat. Seluruh tim pagi ini terbangun dengan kekuatan penuh. Hotel Soemenake meskipun tidak seberapa besar tapi cukup nyaman.
Tapi yang paling penting, letaknya hanya 200 meter dari lokasi penjurian pertama hari itu, yakni Pura Mandara Giri Semeru Agung, Desa Senduro, Lumajang. Membuat Serka Pribawono tergopoh-gopoh mendatangi kami “Loh, loh, acaranya kan masih jam 8?” tanya dia.
Waktu itu masih jam 7.30 pagi. “Ndak papa, ndan. Kami sengaja datang lebih awal untuk menikmati pemandangan,” kata saya.
Padahal niat utamanya acara segera dimulai, segera selesai dan kami segera ngacir ke Lumajang untuk penilaian selanjutnya. Karena pengalaman di Ledokombo, sangat banyak tokoh yang menyambut, akhirnya sambutan demi sambutan sampai jadwal kami molor jauh.
Namun bangun dan check out lebih pagi, terbukti tidak menyesal. Menikmati Pura yang masih sepi memberi kesan tersendiri. Hanya beberapa umat yang melakukan pembersihan, menyapu, dan memotong rumput.
Pura ini mulai dibangun pada 1970 an, kemudian baru diresmikan 22 tahun kemudian tepatnya Juli 1992. Luas total 3 mandala ini hampir 3 hektare. Tapi meski baru berusia 50 tahunan, pura ini bisa dikatakan adalah pusat dari Agama Hindu di Indonesia dan dituakan.
Saya mendengar, orang Hindu Bali sering ber ‘ziarah’ ke pura ini sebagaimana layaknya Muslim Umrah ke Makkah dan Madinah.
Taufiqur Rahman, Ketua Tim Juri 3 berfoto dekat Balai Wantilan Mandala Nista Pura Mandara Giri Semeru Agung. Tampak puncak gunung semeru di belakang cerah sedikit mengeluarkan asap. -Syahrul Rozak Yahya-
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: