Penjurian Lapangan Brawijaya Award (24): Malam Menegangkan Berakhir Sunrise Yang Indah

Penjurian Lapangan Brawijaya Award (24): Malam Menegangkan Berakhir Sunrise Yang Indah

KEINDAHAN sunrise di Pantai Bangsring yang langsung menghadap Selat Bali mengobati rasa lelah selama penjurian lapangan.-Taufiqur Rahman-

Tak lama kemudian, Fiu dan Rozak datang. “Kamar kalian yang sebelah utara. Tidak dikunci. Aku sekamar dengan Pak Yusuf,” kata saya. 

“Oke mas,”

Saya menarik lengan Rozak. “Nanti malam, kalau kalian dengar suara-suara aneh. Apapun itu, tidak usah dikejar tidak usah dicari. Paham ya?” pesan saya padanya. “Oke mas,” si jangkung lantas menyusul Fiu ke kamarnya. Sudah tidak sabar mau menyentuh kasur sepertinya.  

Pantai pun sepi lagi. Suara gelombang dan kelindan angin yang menghempas-hempaskan mereka ke karang semakin riuh rendah di kegelapan di depan penginapan kami. Seolah olah di luar jangkauan cahaya lentera sana bukan laut, tapi tribun stadion sepakbola. 

Tepat di luar jangkauan cahaya lentera, sepuluh meteran di depan saya, sebuah patung penari perempuan khas Banyuwangi. Mirip dengan patung di tugu Watudodol, dan KKN Desa Penari. Ah, betapa kita ini memang bangsa yang suka simbol dan serba mengait-ngaitkan sesuatu.

Analisis saya, mungkin memang ‘kehadiran makhluk lain’ di tempat ini cukup kuat. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Karena toh kita hidup berdampingan. Namun, berdampingan itu mungkin menyajikan pengalaman berbeda bagi setiap orangnya. 

Sehingga mungkin orang-orang yang menginap disini mengalami berbagai macam kontak dengan ‘mahkluk lain’. Adapun bentuknya, sangat tergantung dengan pemahaman, persepsi, dan kondisi psikologis orang yang bersangkutan. 

Saya sejak kecil tidak pernah melihat hantu. Tidak juga diberkahi kemampuan untuk melihat wujud-wujud atau sosok-sosok. Tapi saya setuju bahwa tempat ini memang memiliki ‘kehadiran’ yang kuat. 

Sejak sore saya memang telah melakukan persiapan-persiapan khusus. Namun, menganalisa kondisi sekitar, saya memutuskan saya butuh dukungan eksternal. Saya pun menghubungi beberapa orang pembimbing yang kemudian memberi saya beberapa petunjuk untuk menciptakan kondisi aman.  Secara sekala dan niskala, kata orang-orang Bali, hehe.

Set up kondisi butuh beberapa lama. Prinsipnya, saya menyapa ‘mereka’ dulu dan menyampaikan kedatangan kami. Agar mereka tidak kepo dan menggaruk-garuk dinding kamar Rozak dan Fiu di tengah malam. 

Setelah dirasa cukup, saya berjalan ke tepi pantai dan melakukan acara inti dari ‘set up’ kondisi ini. Yakni memberikan salam takdzim kepada seorang kekasih Tuhan yang menurut legenda berperan dalam mega proyek memisahkan Jawa dan Bali.

Oke, selesai. Waktunya tidur. 

Dan, seperti yang saya harapkan, malam itu berlangsung khidmat dan sunyi. Kami tidur tanpa mimpi. Terbangun suara keresak-keresak sapu yang menggores pasir pantai. 

Ternyata itu adalah para nelayan Bangsring yang sudah siap dengan ‘pakaian’ tempur mereka untuk mencari nafkah. Ada yang membuka warung, loket pengunjung, persewaan alat selam, persewaan penginapan, bersiap jadi guide, membuka toko peralatan renang, dan lain sebagainya. 

Warga Bangsring punya kesepakatan. Bangsring adalah rumah bersama, dijaga bersama, dirawat bersama. Itulah mengapa tanpa disuruh, di pagi buta mereka sudah siap dengan sapu dan mulai membersihkan sekitar lima ratusan meter garis pantai ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: