Nol Emisi 2050 Salah Jalur

 Nol Emisi 2050 Salah Jalur

Bank Mandiri bangun ratusan panel surya, mendorong bisnis berbasis ESG-Istimewa/Disway.id-

Pendanaan hijau merupakan pengadaan dana untuk kegiatan yang bertujuan melindungi lingkungan dan memberikan pengembalian yang adil bagi para pemberi pinjaman. Terdengar seperti guyonan memang, ketika kita menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk memobilisasi "pendanaan hijau" sambil terus menyubsidi energi berbasis fosil dan menghabiskan lebih banyak uang untuk sektor "cokelat" alias yang masih memproduksi banyak karbon.

Manusia kurang suka - atau mungkin kurang pandai - berubah. Kalau di ilmu psikologi biasa disebut status quo bias, salah satu bias kognitif yang membuat kita lebih menyenangi hal-hal tetap sebagaimana adanya atau mempertahankan kondisi saat ini tetap sama. 

Ilmu biologi juga menunjukkan bahwa pada masa evolusi, lebih banyak DNA yang bertahan ketimbang berubah. Ilmu fisika pun tidak membantah. Ada yang disebut inersia atau kelembaman, yaitu kecenderungan benda untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya. Intinya, kita semua suka bertahan, bahkan dalam situasi bahaya. Krisis iklim contohnya. Yang kata mas-mas fourtwnty: Zona Nyaman.

Klise. Salah satu hal yang sering menjadi alasan untuk tidak berubah adalah kurangnya pendanaan iklim. Tidak dapat disangkal, aksi mitigasi untuk mencegah, beradaptasi, atau menanggulangi perubahan iklim di Indonesia membutuhkan dana yang besar. 

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi sebanyak 41 persen dibandingkan skenario business as usual pada tahun 2030 mencapai USD 479 miliar, Rp 7.171 triliun.

Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk transisi energi bersih, sementara sisanya untuk sektor lahan, pertanian, sampah, dan proses industri. 

Namun, angka itu sering berfluktuasi tergantung pada asumsi dan kepentingan yang ada. Dalam kesempatan lain, Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan bahwa kebutuhan pendanaan untuk phasing out (menghapuskan setahap demi setahap) dari batu bara berkisar pada angka USD 600 miliar setara Rp 8.983 triliun. 

Sementara itu, jatah anggaran iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berdasarkan proses climate budget tagging rata-rata pada tahun 2016-2019 hanya sebesar USD 5-8 miliar per tahun.

Perlu diapresiasi bahwa sektor finansial Indonesia telah membuat inovasi dalam beberapa tahun terakhir. Melalui penerbitan green bond atau obligasi hijau dan pinjaman sindikasi, Indonesia telah mengumpulkan USD 6,4 miliar atau setara Rp 95,8 triliun sejak tahun 2018.

Fakta yang menarik, sebanyak 70 persen obligasi tersebut diterbitkan oleh pemerintah atau entitas yang terafiliasi dengan pemerintah. Berbeda dengan negara lain, yang mayoritas obligasinya diterbitkan oleh korporasi. Indonesia juga merupakan negara dengan green sukuk (sovereign dan retail) terbesar di dunia dengan jumlah mencapai USD 3,9 miliar atau setara Rp 58.4 miliar pada periode 2018-2021. 

Otoritas jasa keuangan telah mendorong pendanaan hijau melalui Peraturan Implementasi Pendanaan Berkelanjutan, taksonomi hijau, dan mandat rencana aksi untuk meningkatkan kesadaran investor terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

Bukannya tidak memberikan apresiasi, tetapi tetap saja, semua angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan atau pendanaan yang terus mengalir ke sektor cokelat. Mari kita ingat kembali bahwa anggaran subsidi yang mendorong konsumsi energi fosil tahun lalu mencapai USD 24 miliar (Rp 359 triliun), enam kali lipat dari total green sukuk yang terkumpul selama tiga tahun. 

Indonesia juga masih membangun pembangkit listrik tenaga uap batu bara baru, seperti PLTU Jawa 9 dan 10 yang berkapasitas 2.000 megawatt dengan klaim teknologi super-critical yang efisien. Dari total stimulus fiskal sebesar USD 74,7 miliar  (Rp 1.118 triliun) selama masa pandemi Covid-19, hanya 4 persen dari jumlah belanja yang terkategori "hijau", sementara sisanya sebesar US$ 6,3 miliar (Rp 94,3 triliun)dikategorikan sebagai belanja yang "kotor", menurut Climate Policy Initiative.

Meski demikian, ternyata ada fakta menarik lain dari sektor energi yang "katanya" sudah melakukan transisi. Hal ini terlihat dari kegagalan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kepulauan Sembilan Sinjai. Sejak tahun 2018, atau sudah lima tahun, PLTS tersebut tidak beroperasi karena rusak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: