Bayi Tertukar, Ingat Dewi dan Cipluk

Bayi Tertukar, Ingat Dewi dan Cipluk

Ilustrasi Plt Bupati Bogor Iwan Setiawan wajibkan tes DNA.--

Hari demi hari berlalu. Bayi itu dirawat pihak puskesmas. Sehat. Cantik. Lucu. Pipinya gempil. Diberi nama oleh perawat di sana: Cipluk. 

Pemberian nama itu terasa agak sembarangan. Orang Jawa suka bercanda soal buah ciplukan (Physalis angulata). Itu tanaman liar yang biasa tumbuh di tegalan, sawah kering, dan sekitar hutan. Candaannya: ”Kutunggu di bawah pohon ciplukan.” Padahal, ciplukan tanaman perdu.

Beberapa waktu kemudian, nama Cipluk diganti Noni.

Peristiwa tersebut heboh. Media massa memuat besar-besaran. Waktu itu belum pernah terjadi kasus seperti itu.

Kronologi versi Nuraini:

Diceritakan oleh kuasa hukum Nuraini, Furqon W. Authon dari LBH Jakarta. Zaman itu LBH Jakarta memberikan layanan advokasi gratis bagi warga yang tidak mampu ekonomis. Jadi, Furqon tidak dibayar Nuraini alias gratis.

Furqon cerita begini: Sabtu, 28 Maret 1987, jelang sore. Nuraini baru saja melahirkan bayi perempuan beberapa jam sebelumnya di Puskesmas Cilandak.

Sore itu Nuraini dari kamarnya mendengar suara tangis bayi di ruang bayi. Meski baru melahirkan, dia sudah bisa berjalan. Maka, dia bangkit dari bed, jalan menuju ruang bayi. Dia lihat bayi menangis itu. Dia yakin, itulah bayi yang baru dia lahirkan.

Furqon: ”Naluri ibu tahu, itulah anaknyi. Lalu, bayi itu disusui Nuraini. Kemudian digendong, dibawa ke ruang ibu, dikeloni. Perawat sedang tidak ada.”

Ketika masuk ruang bayi, perawat kaget. Semula ada dua bayi (di boks terpisah), kini tinggal satu bayi. Satu boks lagi kosong. Setelah diperiksa, ternyata dibawa Nuraini. Maka, bayi diambil perawat untuk dimandikan. Dua bayi dimandikan dua perawat.

Furqon: ”Setelah dua bayi dimandikan itulah, perawat menyerahkan bayi-bayi ke ibu mereka. Nah, Nuraini merasa bayinyi tertukar. Lalu, dia mendatangi kamar Kartini, dan mengatakan bahwa bayi yang disusui Kartini itu bayi Nuraini.”

Akhirnya, Nuraini membawa pulang dan merawat bayi yang dia beri nama Dewi. Sebaliknya, Kartini mengembalikan bayi ke puskesmas dan menuntut bayi bernama Dewi itu anak dia.

Persoalan sederhana, tapi jadi rumit. Penyebabnya, di zaman itu penanda bayi adalah karton kecil putih, tertera nama ibu yang melahirkan. Karton itu digantung di boks. Bukan di kaki bayi.

Polisi untuk kali pertama mengusut kasus bayi tertukar. Langkah polisi adalah pemeriksaan darah. Waktu itu di Indonesia belum ada uji DNA.

Uji DNA (deoxyribonucleic acid) diciptakan dan dipublikasi pada 1986 oleh Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris. Dikomersialkan di Inggris pada November 1987. Harga tesnya miliaran rupiah pada zaman itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: