Melindungi Budaya dan Adat Kerajaan Nusantara (2-Habis): Melindungi Eksistensi
Kirab budaya yang digelar Kadipaten Pakualaman. Pada 1950 status negara kadipaten ini -bersama-sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat- diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.-Stock-
HARIAN DISWAY - Realitas lain yang menarik dari keberadaan kerajaan/keraton adalah bahwa para pemangkunya ternyata mendirikan organisasi yang berskala nasional yang menghimpun mereka.
Berdasarkan data yang terekam dalam media online terdapat beberapa organisasi yang menghimpun keraton di Indonesia antara lain: Lembaga Majelis Adat Keraton Nusantara (MAKN), Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), Masyarakat Adat Nusantara (MATRA), dan lain-lain.
Organisasi-organisasi tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan kerajaan/keraton di Indonesia dalam beberapa hal masih eksis untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Mereka bahkan sering mengadakan berbagai kegiatan bersama dalam skala nasional, seperti festival adat, dan budaya Nusantara.
Lebih dari 100 kerajaan/keraton menjadi anggota berbagai organisasi tersebut yang mengindikasikan bahwa mereka bisa menjadi kekuatan yang sangat efektif untuk mendukung program pemerintah dalam lingkup pengembangan kebudayaan dan pariwisata.
BACA JUGA: Puri Tampaksiring, Jejak Kerajaan Bali di Gianyar
Perlindungan
Kita tentu saja sepakat bahwa keberadaan kerajaan/keraton yang masih memiliki pewaris yang terus mengupayakan eksistensinya harus dilindungi dengan baik. Faktor historis, fakta sosiologis, serta kultural harus dijadikan pijakan untuk perlindungan. Peraturan perundangan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga sangat memadai untuk melindungi keberadaan mereka.
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B yang dengan tegas menyebutkan bahwa…. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal lain adalah Pasal 32 yang berbunyi bahwa..” (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang secara khusus mengatur pelestarian cagar budaya di Indonesia melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ketiga peraturan perundangan tersebut bisa menjadi dasar yang kuat untuk membuat undang-undang yang secara khusus melindungi dan melestarikan budaya adat kerajaan nusantara.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara umum mengatur cagar budaya yang bersifat statis alias benda-benda mati, tidak mengatur manusia sebagai penghasil kebudayaan atau cagar budaya.
Kalaupun ada unsur manusia dalam undang-undang tersebut terbatas pada para petugas pengelola cagar budaya. Hubungan antara keduanya adalah sebagai petugas pengelola dan benda yang dikelola.
Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang-undang ini mereduksi kebudayaan sebagai proses kebudayaan menjadi hanya sekedar objek pemajuan kebudayaan yang bersifat bendawi.
Objek pemajuan kebudayaan yang tercakup dalam undang-undang tersebut berjumlah 10 buah yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, permainan rakyat, olah raga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.
Dibanding undang-undang cagar budaya, undang-undang pemajuan kebudayaan menempatkan aspek manusia dalam konteks yang lebih luas, tapi terbatas pada para pelaku pemajuan kebudayaan.
Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) yang dimiliki Keraton Surakarta masih punya kegiatan kebudayaan. Seperti prosesi pemotongan tumpeng peringatan hari jadi Pakasa di pendapa rumdin Bupati Karanganyar. -Stock-
Pasal 41, menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berekspresi, mendapatkan perlindungan atas hasil ekspresi budayanya, berpartisipasi dalam pemajuan kebudayaan, mendapatkan akses informasi mengena kebudayaan, mendapatkan sarana dan prasarana kebudayaan, serta memperoleh manfaat atas pemajuan kebudayaan.
Pasal 41 tersebut bisa menjadi landasan kuat pembuatan RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara.
RUU mengenai Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara bisa mengambil beberapa unsur dari UU Cagar Budaya dan dari UU Pemajuan Kebudayaan. Kraton beserta isinya, terutama benda-benda budaya, merupakan objek dari pelestarian cagar budaya sebagaimana diatur dalam UU Cagar Budaya, asal memenuhi syarat sebagai cagar budaya sebagaimana diatur dalam Pasal 5.
Secara khusus Pasal 5 UU Cagar Budaya menyebutkan bahwa benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai cagar budaya apabila memenuhi kriteria: berusia 50 tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, imu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Beberapa tahun yang lalu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pernah mengadakan diskusi mengenai pelestarian budaya dan adat kerajaan Nusantara. Dalam diskusi tersebut tercetus kemungkinan DPD mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelestarian Budaya Adat Nusantara.
Harapannya RUU tersebut jika disahkan menjadi undang-undang bisa memperkuat Undang-Undang Cagar Budaya dan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan untuk melindungi warisan kerajaan-kerajaan Nusantara.
Sampai saat ini rencana tersebut belum dilanjutkan. Namun demikian ada beberapa hal yang patut dipikirkan kembali jika RUU tersebut akan dilanjutkan dalam penyusunannya.
Dalam RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara, kita bisa memosisikan kerajaan-kerajaan yang masih ada sebagai komunitas atau organisasi budaya dengan status Cagar Budaya Hidup (live heritage) atau sebagai cagar budaya dinamis.
Artinya kerajaan tersebut harus dipandang sebagai satu komunitas kebudayaan yang berisi para pendukung beserta aktivitas kebudayaan sehari-hari. Mengacu pada definisi kebudayaan -kesatuan pikiran, tindakan, dan hasil dari tindakan- maka di dalam cagar budaya hidup tersebut selain berisi individu-individu pendukung kebudayaan itu, juga berisi cagar budaya benda (tangible) serta cagar budaya tak benda (intangible).
Dengan memosisikan kerajaan-kerajaan sebagai sebuah organisasi kebudayaan maka RUU yang akan disusun juga harus mencakup berbagai hal terkait dengan pengaturan sebuah organisasi. Unsur-unsur organisasi harus masuk dalam RUU tersebut.
Tapi sekali lagi organisasi yang diatur adalah organisasi kebudayaan sehingga harus lebih luwes dibanding dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang lebih bersifat umum.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang. RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara harus memosisikan kerajaan/keraton sebagai organisasi pelestari dan pengembang kebudayaan lokal. (Oleh: Purnawan Basundoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: