Anies Baswedan Disentil Menteri Agama

Anies Baswedan Disentil Menteri Agama

Ilustrasi Anies Baswedan disentil Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Prof Mahfud, di pidatonya di depan para prajurit TNI, berkata, ”Tadi saya bicara pada Pak Panglima TNI. Situasi sekarang kondusif. Karena kan ini banyak orang. Konon, katanya, ini akan ada perang. Ada ini-itu membuat panas? Saya bilang, ndak. Situasi tenang kondusif.”

BACA JUGA:Deg-degan Anies-Imin

BACA JUGA:Ujian Politik Muhaimin untuk Yakinkan Warga NU agar Memilih Anies Baswedan

Dilanjut: ”Pemilu tahun 2019 yang begitu panas. Sangat panas. Itu sudah dimulai panasnya sejak tahun 2016. Pada 4 November 2016 ada yang mengepung Istana Negara. Kemudian, disusul dengan gelombang-gelombang berikutnya, dengan konflik, pesan SARA, perang SARA, rasis, politik identitas, dan berpuncak lahirnya 212. Lalu, Pemilu 2019.” 

Itu pun, Pemilu 2019 aman terkendali. Jangankan perang, seusai pemilu, kondisi masyarakat tenang stabil. Masing-masing kembali ke habitatnya lagi. Si pengusaha kembali berusaha. Tukang ojek balik ngojek lagi. Kuli bangunan mengaduk adonan semen lagi.

”Emangnya setelah nyoblos, trus langsung berubah kaya? Kagak ada…” ujar rakyat di warung-warung.

Coblosan (pemilu) akan dilaksanakan 14 Februari 2024. Kurang lima bulan lagi. Kondisi tenang-sepi. Bandingkan dengan tiga tahun sebelum Pemilu 2019, seolah nyaris perang saudara. ”Bagai langit dengan jurang,” ujar begawan media massa Dahlan Iskan.

Maka, percikan duet Yaqut-Burhanuddin itu bagai bumbu politik. Ibarat bumbu, pun sekelas jahe. Pedasnya cuma sedikit menyenggol lidah. Bukan sekelas cabai yang menyengat.

Sebenarnya, bumbu politik yang kurang nendang itu bukan karena bobot kualitasnya ringan. Bukan. Kualitasnya kelas berat. Indikator kelas berat ada dua. Pertama, pada kalimat ”pernah pecah-belah umat”. Kedua, disebut Anies Baswedan.

Disebut kelas berat, sebab masyarakat tahu, kalimat Yaqut-Burhanuddin itu benar. Memang terjadi. 

Dipertegas Burhanuddin begini: ”Pernyataan Pak Menteri tersebut tidak bisa dilepaskan dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika Anies cagub DKI Jakarta. Masyarakat tahu, Anies memainkan politik identitas. Itu yang disebut Pak Menteri sebagai pemecah-belah umat.”

Sesungguhnya, diksi yang dipakai Burhanuddin sebagai ”politik identitas” itu sangat halus. Saking halusnya, sampai warga awam gagal paham. Alias bingung. Terhadap istilah ”politik identitas”. Yang cuma bisa dipahami sarjana ilmu politik, setidaknya sarjana strata satu. Yang jumlah sarjana strata satu (semua program studi) di Indonesia cuma 0,7 persen populasi.

Gampangnya adalah memainkan kampanye politik menggunakan hal-hal terkait agama Islam. Itu disimpulkan Yaqut sebagai ”pecah-belah umat”. Juga, disimpulkan Mahfud sebagai ”sangat panas”. Tapi, umat Islam tidak sampai pecah dalam arti perang saudara. Cuma pecah tipis-tipis alias retak rambut. Di lapangan terjadi perang bacot: cebong dan kampret.

Sementara itu, istilah ”politik identitas” adalah istilah internasional. Dipakai di Amerika Serikat pada 1970.

Howard J. Wiarda dalam bukunya yang berjudul Political Culture, Political Science, and Identity Politics: An Uneasy Alliance (2016), menyebutkan, istilah itu kali pertama dipakai di AS pada 1970. Dipakai dan berkembang pada puncaknya 1977. Dipakai kelompok sosialis feminis kulit hitam di AS, Combahee River Collective, pada April 1977.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: