Siwa Mahayana, Sebutan Kepercayaan Asli Masyarakat Tengger

Siwa Mahayana, Sebutan Kepercayaan Asli Masyarakat Tengger

Romo Dukun Pandita Puja Pramana (tengah) dalam upacara Kasada. Sebutan untuk kepercayaan Suku Tengger adalah Siwa Mahayana.-Ranau Alejandro-

PASURUAN, HARIAN DISWAY - Dalam perjalanan menuju kawasan yang didiami masyarakat Tengger di empat daerah: Pasuruan, Malang, Lumajang, Probolinggo, banyak ditemukan bangunan-bangunan pura. Padmasana, pelinggih pun banyak dijumpai.

Hal itu membuat banyak orang menganggap bahwa tata cara ibadah masyarakat Hindu Tengger sama dengan Hindu Bali.

BACA JUGA:Sebelum Yadnya Kasada Digelar, Makan Nasi Kabuli Dulu Agar Doa Kabul

BACA JUGA:Pentingnya Tanggal Limolas Panglong Siji dalam Yadnya Kasada 2023 di Bromo

Mungkin mereka berasal dari akar yang sama, sebagai kelanjutan dari era Hindu-Buddha di Nusantara yang masih lestari.

Namun, jika dilihat dari berbagai ritus yang dilakukan umat Hindu Tengger, mereka tak selalu melakukan pemujaan di pura.

Seperti upacara Semeninga atau Matur Piuning sebelum gelaran Eksotika Bromo 2023. Umat Hindu Tengger berdoa di lautan pasir atau segara wedi Bromo.

Tata cara peribadatannya pun memiliki beberapa perbedaan. Mantera dan doa yang dilantunkan beberapa berbahasa Jawa.

Meski ada yang berbahasa sansekerta, bahasa yang tertulis dalam kitab Weda.

Afizki Arif Ridwan, tokoh pemuda Hindu Suku Tengger, menyebut bahwa zaman dulu, masyarakat setempat menyebut kepercayaan mereka: Siwa Mahayana.

"Sesepuh-sesepuh Romo Dukun (sebutan untuk pemuka agama) masa lalu memang menamakan kepercayaan kami sebagai Siwa Mahayana," ungkapnya.

Dari berbagai sumber, Siwa Mahayana merupakan sebutan lain untuk kepercayaan Siwa-Buddha.

BACA JUGA:Rayakan Kasada, Berikut Tahapan Warga Suku Tengger sebelum Tunaikan Yadnya Kasada

BACA JUGA:Upacara di Mungal dan Pemberkatan Sesaji di Sanggar Poten sebelum Yadnya Kasada

Yakni sinkretisme antara kepercayaan Siwaistis dan Buddha yang lestari pada era Hindu-Buddha di Nusantara, bahkan pra-Majapahit.

"Kemudian banyak ahli-ahli agama yang datang ke Tengger. Termasuk memberi pemahaman tentang tata-cara Hindu Bali. Untuk tahun pastinya saya kurang tahu. Lantas kami disebut sebagai Hindu," ujar pria 25 tahun itu.

Terlebih, pasca 1965, pemerintah mewajibkan rakyat untuk memeluk salah satu dari lima agama yang diakui.

Maka, masyarakat pun, termasuk warga Suku Tengger, memilih Hindu sebagai agama mereka, karena secara tata cara, keduanya memiliki persamaan.

Sebagai tokoh pemuda yang aktif dalam Perhimpunan Pemuda Hindu Pasuruan, Afiz kerap memberi penyuluhan pada warga Suku Tengger, khususnya yang berdiam di Tosari, untuk tetap melestarikan tradisi Siwa Mahayana, yang telah dipeluk oleh leluhur mereka selama berabad-abad.

"Cara Hindu Bali tidak salah. Namanya pemujaan, semua itu sah. Yang penting niat dan olah rasanya. Tapi, jika tradisi Tengger tak dilestarikan, lama-lama akan terkikis dan punah," terangnya.

Menurutnya, saat ini sebanyak 70 persen warga Tengger masih memeluk tata cara Siwa Mahayana. Sisanya, 30 persen, menganut tata cara Hindu Bali. Mereka hidup dengan harmonis. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: