Geopolitik Memanas, Rupiah Melemah
MENTERI KEUANGAN Sri Mulyani menjelaskan situasi global yang membuat rupiah terpuruk.-YouTube Kementerian Keuangan-
JAKARTA, HARIAN DISWAY – Perang Rusia dan Ukraina belum berakhir. Ditambah lagi perang Israel dan Palestina. Konflik geopolitik ini berdampak buruk pada hampir semua negara, termasuk Indonesia.
Yang paling terasa sepekan terakhir. Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Tepat tujuh hari lalu tembus Rp 16.200 dan turun sedikit menjadi Rp 15.870 per USD pada Rabu, 25 Oktober 2023.
USD juga menguat terhadap mata uang utama lainnya. Indeks dolar yang mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama lainnya menguat 0,69 persen menjadi 106,26.
Ini setelah Purchase Manufacturing Index (PMI) Komposit Global S&P AS naik tipis menjadi 51 pada Oktober. Dari yang sebelumnya 50,2 pada September. Sedangkan PMI jasa naik menjadi 50,9 dari 50,1. Kedua angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan analis.
BACA JUGA : Setelah Nilai Tukar Rupiah, Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Melemah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, tiga tantangan perekonomian global saat ini terutama dipicu oleh volatilitas pasar keuangan dan tensi geopolitik di Timur Tengah. Risiko dan ketidakpastian global yang meningkat tersebut akan memberikan dampak spillover ke dalam negeri.
Tentu, katanya, berpotensi kuat mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, di pasar keuangan, yield US Treasury mengalami lonjakan hingga mencapai level di atas 5 pada periode September hingga Oktober 2023. Ini bahkan menjadi lonjakan yang pertama kali sejak 2007.
"Saya menyampaikan ini dalam konteks biasa Amerika Serikat yield-nya rendah karena suku bunga selama, terutama sejak global financial crisis itu sangat rendah, rate policy hanya 0,25 persen. Jadi ini adalah lonjakan yang sangat besar,” katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu, 25 Oktober 2023.
BACA JUGA : Menparekraf di KTT AIS 2023: Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah Kunci Pertumbuhan Berkelanjutan
Tidak hanya itu. Tren pergerakan yield US Treasury juga menjadi sangat tidak terprediksi. Sehingga itulah yang menyebabkan gejolak tidak hanya terjadi di AS, tapi di seluruh dunia.
Termasuk AS yang tengah menghadapi masalah internal dari sisi politik. Kedua, sektor properti Tiongkok juga masih menghadapi masalah yang serius. Setidaknya, ada 50 perusahaan properti di sana mengalami gagal bayar atau default.
“Ini akan mempengaruhi Indonesia," ujarnya. Sebab, perekonomian Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia itu menjadi motor pertumbuhan ekspor dari banyak negara, termasuk Indonesia. Kawasan Eropa pun demikian. Mengalami situasi yang tidak mudah dengan laju inflasi yang masih tinggi.
Perang antarnegara mengakibatkan harga minyak atau energi akan terkerek naik. Kemudian berlanjut pada inflasi sehingga bank sentral Eropa diperkirakan cenderung naik dalam menetapkan suku bunga kebijakan.
Sementara itu, Ekonom Senior Chatib Basri menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi nilai tukar rupiah saat ini. Sebab, kondisi pelemahan ini terjadi pada semua mata uang dunia lainnya. Justru, rupiah masih cenderung relatif stabil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: