Dunia Gagal Melindungi Jurnalis di Kawasan Konflik, Ini Penjelasan Pakar dari Stikosa AWS
Riesta Ayu O., S.I.Kom, M.I.Kom.- dmpr Stikosa-AWS-
"Kemudian Konvensi Perlindungan Jurnalis dalam Konflik Bersenjata, merupakan perjanjian internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2015. Konvensi ini menguatkan perlindungan terhadap jurnalis di daerah konflik, termasuk perlindungan dari serangan, penangkapan, dan intimidasi," tambahnya.
BACA JUGA:YouTuber Surabaya Berbagi Jurus Sukses dalam Workshop Content Creator di Stikosa AWS
BACA JUGA:Pemkot Surabaya Gandeng Stikosa AWS Penguatan Kualitas Komunikasi Publik
Lalu prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, pedoman yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1977. Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa semua orang yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata harus dilindungi dari serangan. Termasuk jurnalis.
"Hal ini terlihat dari masih banyaknya kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan di daerah konflik, seperti serangan, penangkapan, atau intimidasi," terang Riesta.
Dalam konflik di Gaza, serangan-serangan tersebut diduga dilakukan oleh tanpa pandang bulu, termasuk terhadap wartawan yang mengenakan atribut jurnalistik.
"Penerapan hukum internasional dan kode etik jurnalistik yang tidak optimal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kesadaran pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak ini kadang menganggap bahwa jurnalis adalah bagian dari kelompok musuh, sehingga dapat menjadi sasaran serangan," jelas Riesta.
Presiden Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bersama dengan sejumlah 57 Pemimpin Negara Islam di dunia untuk membahas penyelesaian konflik Palestina pada 11 November 2023 -Sekretariat Presiden-
Hal lain yang juga menjadi perhatian Riesta, pelanggaran terhadap hukum internasional dan kode etik jurnalistik seringkali tidak ditindak tegas oleh pihak berwenang. Hal ini membuat para pelaku pelanggaran merasa impunitas, dan tidak ada efek jera yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
"Masyarakat internasional seringkali tidak memberikan tekanan yang cukup kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis. Hal ini membuat para pihak yang bertikai tidak menganggap serius masalah perlindungan terhadap jurnalis," sesalnya.
Untuk itu ia pun berharap agar pelanggaran terhadap hukum internasional dan kode etik jurnalistik harus ditindak tegas oleh pihak berwenang. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk pengadilan khusus untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan.
"Masyarakat internasional juga harus memberikan tekanan yang cukup kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis. Hal ini dapat dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, sanksi ekonomi, atau tekanan diplomatik," tegas Riesta.
Dukungan masyarakat internasional, termasuk sikap tegas PBB, sangat penting untuk meningkatkan penerapan hukum internasional dan kode etik jurnalistik yang mengatur keselamatan wartawan di daerah konflik.
PBB memiliki peran penting dalam melindungi keselamatan wartawan di daerah konflik. PBB dapat memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menghormati perlindungan terhadap jurnalis.
"PBB juga dapat membentuk pengadilan khusus untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap keselamatan wartawan. Pengadilan ini dapat memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pelanggaran, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan," tambahnya lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: