Etik Ndasmu
Ilustrasi capres Prabowo Subianto.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam debat, Prabowo berusaha mendegradasi Anies dengan mengungkit dukungannya kepada Anies dalam Pemilihan Gubernur DKI pada 2017. Tetapi, upaya men-downgrade Anies itu malah menjadi backfired, menjadi bumerang, karena Anies menyerang balik dengan menyebut Prabowo tidak tahan menjadi oposisi.
BACA JUGA: Pintu Pemakzulan Jokowi
Debat presiden ibarat pertandingan sepak bola. Ada aturan yang tertulis, tapi ada juga konvensi, kesepakatan yang tidak tertulis. Salah satunya adalah menyerang pribadi atau biasanya disebut sebagai ad hominem. Seharusnya KPU (Komisi Pemilihan Umum) secara tegas menyebutkan aturan debat yang tidak memperbolehkan argumen ad hominem.
Dalam teori retorika, argumen ad hominem menempati posisi paling rendah dalam peringkat argumen. Seseorang yang melakukan serangan ad hominem biasanya sudah kehilangan akal untuk berargumen secara rasional. Seseorang yang menyerang pribadi terlihat sebagai orang yang putus asa dan melakukan serangan ngawur terhadap lawannya.
BACA JUGA:Indeks Pembangunan Manusia
Ibarat sepak bola, pertandingan harus selesai 2 x 45 menit, plus waktu tambahan, atau tambahan perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Setelah peluit panjang ditiup, pertandingan tuntas dan kedua kesebelasan saling bersalaman dan saling bermaafan. Itulah tanda pemain yang sportif, etis, dan profesional. Dalam debat capres kali ini seharusnya juga demikian. Setelah peluit panjang ditiup, selesailah perdebatan.
Namun, rupanya Prabowo tidak puas hanya berdebat di KPU. Setelah debat usai, ia masih membawa rasa jengkelnya di hadapan rakernas Partai Gerindra. Di kesempatan itulah Prabowo kembali menyerang Anies. Ia baper oleh suasana sampai kemudian menyebut ”ndasmu” kepada Anies.
BACA JUGA: Megawati dan Orde Baru
Pernyataan itu bukan sekadar candaan seperti yang disampaikan Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Prabowo. Pernyataan ”ndasmu” tersebut bagian dari ungkapan ”freudian” yang mencuat dari ”id” dan ”ego” Prabowo. Ungkapan itu menunjukkan watak asli yang muncul dari bawah sadar keseharian Prabowo.
Prabowo boleh saja menyewa konsultan politik mahal, yang mendandaninya dengan citra ”gemoy”, si gemuk nan lucu dan menggemaskan. Tapi, citra itu ternyata hanya make-up. Ketika tepercik air, lunturlah riasan tersebut dan tampaklah wajah aslinya.
Citra Prabowo sebagai jenderal yang lucu, humoris, sekaligus demokratis terbongkar melalui episode debat dan episode ”ndasmu”. Dua episode itu menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar lipstik yang menjadi hiasan. Demokrasi adalah pengalaman dan penghayatan.
BACA JUGA: Hari Guru Diisi Janji-Janji Gaji
Prabowo tidak pernah mengalami hidup yang demokratis. Sepanjang karier hidupnya, ia menjadi anggota militer dengan struktur kepemimpinan hierarkis dan berdasarkan komando. Tidak ada tradisi dialog dalam militer, apalagi tradisi debat. Segala sesuatu berjalan menurut mekanisme komando atas ke bawah.
Dengan latar belakang semacam itu, sulit bagi Prabowo untuk melakukan switch ke tradisi demokrasi, yang berdasarkan pada dialog yang egaliter dan penghargaan terhadap harkat seseorang yang setara dan sepadan satu dengan lainnya.
Demokrasi juga menuntut penghormatan terhadap etika. Dalam tradisi politik, kekuasaan lahir karena beberapa sebab. Mereka yang menganut sistem kerajaan meyakini bahwa kekuasaan adalah wangsit dari Tuhan. Sementara itu, mereka yang percaya terhadap demokrasi percaya bahwa kekuasaan datang dari rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: