2023 Booming KDRT

2023 Booming KDRT

Ilustrasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. KDRT booming pada 2023. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Teori itu terbantahkan teori lain. R. Emerson Dobash dan Russell Dobash dalam buku mereka yang berjudul Violence Against Wives (New York the Free Press, 1979) menyebutkan, lelaki pelaku KDRT bukan karena rasa kecewa yang bertumpuk sehingga meledak jadi KDRT. 

Melainkan: ”Kekerasan yang dilakukan para pelaku KDRT secara teliti ditujukan kepada orang-orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu pula.” 

Contoh, pelaku KDRT ”memilih untuk tidak memukul atasan di tempat kerja (bos) atau petugas polisi meskipun mereka sangat marah sehingga bertindak di luar kendali.” Jadi, yang benar adalah target penganiayaan hanya pada orang tertentu yang lebih lemah daripada pelaku.

Dua teori di atas tidak hanya berbeda, tapi juga bertolak belakang. Begitu pula dengan teori-teori lain yang terhimpun di Perpustakaan Minnesota Advocates for Human Rights. 

Kendati, dalam perspektif lebih luas, setiap teori itu memberi aneka wacana kepada publik pembaca. Jika dirangkum jadi satu, itu akan menghasilkan suatu teori baru.

Ibarat seekor gajah, bisa dilihat sebagai: empat pilar tonggak yang kokoh (kaki). Atau, dua kipas besar yang bergerak harmonis (kuping). Atau, sebuah slang raksasa yang meliuk-liuk sebelum menyemprotkan air (belalai). Ketiganya tidak punya kesamaan atau saling hubungan gerak. Namun, berada di satu badan.

AS yang jadi gudangnya teori kriminologi-psikologi-sosiologi pun ribet merumuskan teori domestic violence (KDRT). Apalagi di kita, yang mengadopsi ”logi-logi” itu dari sana. Dengan demikian, akademisi kita (mending) diam saja, tanpa riset tanpa produk teori. Wajar sepi teori. Daripada salah.

Esensi pernikahan, dari sudut pandang agama dan ilmu sosial, bukan suatu perlombaan pegang kendali. Ketika PDKT, lelaki-perempuan berasa sama-sama ingin menyatu dalam harmoni. Rukun-damai. Jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Sampai sama-sama tua. Sampai maut memisahkan mereka.

Bahwa setelah menikah terjadi KDRT, bahkan pembunuhan dalam keluarga, berarti terjadi pembelokan ekstrem dari niat dan doa di awal nikah. 

Merujuk riset DAIP, niat pegang kendali jadi awal problem. Jika niat itu diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau intervensi psikologis. Sebab, semua manusia normal ingin diperlakukan baik. Tanpa kecuali. Terutama oleh orang terdekat dalam hidup sehari-hari. Kecuali yang tidak normal.

Ketika satu di antara pasangan melakukan kekerasan terhadap yang lain, otomatis terjadi perlawanan. Otomatis-kontan. Hukum Archimedes: ”Setiap benda yang sebagian atau seluruhnya ditekan dalam zat cair, menghasilkan gaya dorong ke atas yang sama besar.” Kata orang: ”Semut pun kalau diinjak bakal menggigit. Apalagi elu.” 

Dengan 22 perkara KDRT diproses sidik polisi per hari, sudah terlalu banyak. Angka itu saja semestinya jadi warning buat calon pelaku. Tidak perlu teori. Sehingga tidak membebani akademisi kita. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: