2024: Mendengar Nyanyian Bumi

2024: Mendengar Nyanyian Bumi

Karikatur Capres 2024 terkait isu lingkungan dan bencana alam yang terjadi di Indonesia--

BACA JUGA:Prabowo Apresiasi Seluruh Pihak yang Berkontribusi Selamatkan Warga Erupsi Gunung Marapi

Duka dapat membangunkan optimisme menjadikan lava sebagai literasi pengembangan wilayah. “Nyanyian gunung” itu seyogianya membuat manusia mencoba mendengar suara alam lebih khidmat lagi. 

Bencana alam dapat dijadikan sebagai madrasah yang mengajarkan bagaimana membangun relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat.

Mandat Konstitusi

Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola lahar gunung berapi. Keberadaan gunung berapi niscaya ditansformasi menjadi lembar “kurikulum kealaman” agar  kampus hadir dengan pendidikan manajemen bencana. 

Data gunung berapi oleh lembaga pendidikan dapat menjadi resources penting lahirnya ilmu kegunungapian dengan segala perangkatnya, termasuk aspek yuridisnya, sehingga “suara-suara” gunung itu tidak semata-mata berarti disaster atau catastrophe, melainkan referensi saintifik. 

Cermatilah bahwa setiap bencana terbukti menghadirkan solusi-solusi kreatif, persis yang ditulis oleh Max Hastings dalam karya “eposnya”, Catastrophe, Europe Goes To War 1914 (2013). 

Seluruh sendi negara ini sudah sedemikian gamblang bertutur mengenai bencana, berikut anggaran dan dasar hukumnya. Negara dengan segala alat kelengkapannya diatribusi memiliki kemampuan menjaga warga dari petaka.

Negara wajib meredesain kawasan permukiman maupun membuat road map Cincin Api dan mengonstruksi infrastruktur yang sesuai kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor gunung berapi memiliki pengajaran mendengar suara alam lebih jernih, dan beradaptasi dengan fakta ruang yang telah dipetakan. 

Belajar pada referensi tua seperti Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389), dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu diawali dari tingkat teritori terkecil, yaitu desa. 

Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama berbunyi: Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana; Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara; Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka; Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus. 

Inilah sabda Raja Hayam Wuruk yang inti maknanya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya.

Pesan ini amat fenomenal dalam peradaban ekologis leluhur bahwa membangun negara harus berpijak pada desa. 

Janganlah sampai ada gerutu menyesali diri tinggal di negeri ini. Ungkapan yang acap kali terlontar bahwa negara ini rawan banjir, gempa, longsor, gunung meletus. Bahkan merinding mendengar patahan aktif yang siap mengguncang Surabaya dengan kekuatan 6,5 SR. Semua itu tidaklah berarti “bencana itu kutukan”. 

Tulisan Lawrence Blair dan Lorne Blair (2010) yang mengintrodusir Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire) bukanlah pernyataan yang terus didramatisir. Justru kita bersyukur berarti Indonesia adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: