2024: Mendengar Nyanyian Bumi

2024: Mendengar Nyanyian Bumi

Karikatur Capres 2024 terkait isu lingkungan dan bencana alam yang terjadi di Indonesia--

Debat capres-cawapres telah terhelat dan akan dilanjutkan masa kampanye. Ragam isu dibincang penuh gempita sambil mengenang serta menerawang kesan lingkungan di era 2023 dan 2024. 

Hujan deras melanda Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya pada Selasa, 9 Januari 2024. Ada pohon tumbang di banyak tempat di Jawa Timur dan kemacetan yang menjebak penuh sensasi dinikmati warga Surabaya yang kala itu melintasnya di titik-titik kota.

Itu seolah menjadi penanda bahwa masih banyak masalah di tahun 2024 dan gebyar yang ada tidak seindah warna aslinya. Begitulah saya mendengar ritme dari kilasan bumi yang kian menua. 

Juga ada gemuruh Gunung Semeru yang tengah menunjukkan kedigdayaannya dalam “menyapa” khalayak. Berbagai media massa memberitakan bahaya Semeru yang erupsi. Tanah longsor dan rumah roboh akibat gempa di Jepang pun terus menghenyak. 

Peperangan Ukraina-Rusia maupun Hamas dan Israel tidak kunjung usai. Pergolakan politik di Timur Tengah semakin menggema. Banjir di Kerawang menerjang tanpa duga sebelumnya.

BACA JUGA:Fokus pada Pertahanan Negeri Sendiri, Polandia Stop Kirim Senjata ke Ukraina

Begitulah realitas atas suara alam yang sedang berdendang atau justru berkhutbah dengan fakta, karena bahasa lirih tidak didengar lagi. Gunung di Sumatera Barat atau di Jawa Timur telah menunjukkan gelagat kurang bersahabat. Gemuruh Gunung berapi sebagaimana gunung-gunung aktif lainnya di dunia selalu memberikan pesan bahwa dia memang ada. 

Membaca Catatan

Tahun-tahun lalu kita mencatat. Peristiwa alamiah akibat cincin api  memang dapat dibaca publik dari erupsi Gunung Kusatsu-Shirane, Jepang yang menyebabkan gempa 6,2 SR di Aomori, Jepang.

Lalu erupsi Gunung Mayon, Filipina, erupsi Gunung Agung, Bali; gempa 6.4 SR di Lebak, Banten, gempa 7.9 SR di Alaska, Amerika Serikat; gempa 4.9 SR di Pulau Seram, Ambon; gempa 5.1 SR di Simeulue, Aceh, gempa 5.4 SR di Tarapaca, Cile.

Kejadian ini menggeliat di awal 2018. Cincin berapi memanjang 40 ribu km yang membentang dari Selandia Baru melewati Indonesia, Jepang, Amerika Utara sampai Amerika Serikat.

Terhadap “senandung” gunung kita terhenyak meski sejatinya dalam sebuah letusan tersimpan beragam makna ekologis yang memberikan pengharapan atas nikmat Tuhan.

Pemerintah harus menata secara organisatoris agar letusan tidak menjadi “prahara” dengan korban jiwa raga, harta dan benda. Bangsa ini pun mesti belajar agar “terlatih” menghadapi dan menyikapi “nyanyian gunung-gunung” itu tanpa prasangka.

Gunung meletus sesungguhnya mengabarkan otoritas ekologis yang gemanya mengetuk solidaritas kemanusiaan. Material vulkanik melahirkan duka yang ternyata mampu memupuk kembali kesuburan tanah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: