Menyingkap Situs Petirtaan Lereng Penanggungan (6): Bukan Arca Laksmi dan Sri

Menyingkap Situs Petirtaan Lereng Penanggungan (6): Bukan Arca Laksmi dan Sri

Menyingkap situs petirtaan Lereng Penanggungan (6). Arca jaladwara dengan sirascakra dan motif ornamentiknya yang cenderung memiliki kekhasan era Singhasari-Majapahit. Candi itu diduga dibangun pada era Majapahit, saat pemerintahan Tribhuwanotunggadewi.-Julian Romadhon-

Jika melihat dari bagian kepala dan mahkota kedua arca itu, terdapat sirascakra. Yakni kesan garis-garis penggambaran sinar yang memancar dari kedua kepala arca tersebut. Kemudian pada bagian belakang kepala, terdapat bidang lebar seperti pita yang menjuntai simetris di kanan-kiri.

BACA JUGA:Menyingkap Situs Petirtaan di Lereng Penanggungan (3): Gempeng bukan Hati Hancur

Kemudian, meski sebagai jaladwara, arca-arca tersebut memperlihatkan sikap statis yang kaku. Seperti penggambaran tokoh-tokoh masa lalu yang telah meninggal. Sosok tokoh tersebut kerap diwujudkan sebagai dewa-dewi. 

Menurut buku Arkeologi Pawitra karya Agus Aris Munandar, ciri-ciri arca di Belahan lazim ditemukan pada era Majapahit, atau abad ke-14 Masehi. "Arca kedua dewi itu tingginya hampir sama dengan arca Parwati dari Candi Ngrimbi, juga arca Hari-Hara di Candi Simping. Yaitu sekitar 2 meter," tulisnya.

Bahkan arca perwujudan serupa kerap ditemukan pada abad ke-15 Masehi. Yakni pada masa akhir Majapahit. Garis-garis sinar itu menggambarkan kesucian figur, yang menyiratkan cahaya bagi sekitarnya. Itu disebut sebagai "Surya Majapahit". 


Menyingkap situs petirtaan Lereng Penanggungan (6). Petirtaan Belahan dilihat dari atas. Situs tersebut diduga dibangun oleh Wangsa Rajasa. Sebagai tempat bersuci sebelum para resi pada masa lalu melakukan pendakian ke Puncak Penanggungan.-Guruh DN-

Agus menulis, tidak pernah dijumpai ornamen sinar seperti itu sebelum era Majapahit. Arca Hari-Hara di Ngrimbi dan Parwati di Simping, memiliki guratan sinar serupa. Keduanya merupakan perwujudan penguasa tertinggi Majapahit. Yakni Raden Wijaya dan Tribhuwanotunggadewi.

"Maka kedua arca di Belahan merupakan arca perwujudan khas zaman Majapahit," tulisnya. Detail yang menguatkan pendapat itu adalah kedua tangan arca terjulur di samping tubuh. Ber-anjalimudra, atau ber-dyanamudra di depan dada. 

BACA JUGA: Menyingkap Situs Petirtaan Lereng Penanggungan (2), Siapa Yang Membangun Jolotundo?

Pun kedua arca dewi di Belahan masing-masing memiliki empat tangan di kanan dan kiri. Simetris, tidak berbeda antara sikap tangan kanan dan kirinya. Bagi Agus, sejatinya kedua arca itu merupakan penggambaran dari Dewi Parwati, cakti Dewa Siwa. Bukan Laksmi, bukan pula Sri.

Sebab dalam ikonografi Hindu, dewi yang digambarkan bertangan empat adalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi. Maka menilik gaya seni arca yang jelas bergaya Majapahit, dapat ditafsirkan bahwa Belahan dibangun pada era Majapahit. Yakni pada abad ke-14 Masehi.

Apalagi konstruksinya juga jelas mendukung pendapat itu. Seperti halnya kepurbakalaan era Majapahit yang lain, atau Singhasari, sebagai leluhur kerajaan besar tersebut. Dapat dilihat pada konstruksi Gerbang Bajang Ratu, Candi Jawi, Candi Jago, maupun Petirtaan Watu Gede.

Jadi, dua wangsa besar sama-sama membangun petirtaan di Lereng Penanggungan. Sebagai gunung yang dianggap poros tanah Jawa. Yakni Wangsa Isyana dan Wangsa Rajasa. Apa alasan mereka? (Guruh Dimas Nugraha)

BACA JUGA: Menyingkap Situs Petirtaan Lereng Penanggungan (7): Prestise Dua Wangsa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: