Etika Netralitas dalam Pemilu: Antara Ethics Weber dan Wolf

Etika Netralitas dalam Pemilu: Antara Ethics Weber dan Wolf

Momen berharga pada Senin, 30 Oktober 2023 ketika Presiden Joko Widodo santap siang bersama tiga calon presiden yang berpartisipasi pada pemilihan presiden 2024, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta. --

Dalam Pasal 23 Undang-undang tersebut menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Apakah partai politik sebagai organisasi yang menerima bantuan dari anggaran negara termasuk dalam pengertian ini?

Dengan demikian sebenarnya secara normatif hukum soal cawe-cawe dan atau keberpihakan presiden dalam pemilu presiden-wakil presiden ini bisa diperdebatkan benar atau salahnya, tapi ketika berbicara dalam tataran etika maka akan sangat berbeda nuansanya.

Bagi yang setuju dengan tidak netralnya Jokowi karena sikap nyata-nyatanya untuk mendukung Prabowo Subianto dan anaknya Gibran Rakabuming Raka, maupun bagi yang sebaliknya mengecam keberpihakan Jokowi, keduanya sama-sama mendalilkan boleh ataupun tidak boleh/setuju atau tidak setuju dengan itu alasannya sama-sama demi kebaikan bangsa dan negara, yang tentunya berbagai dimensi yang bisa dipandang dari perspektif hukum, politik, moral, maupun etika. 

Seperti diketahui perdebatan panjang lebar tentang hubungan hukum. Politik, moral dan etika adalah perdebatan yang tak pernah usai sepanjang peradaban umat manusia. Salah satu tokoh yang sering dirujuk ketika bicara soal ini adalah Max Weber.

Terkait dengan hal ini, Max Weber membedakan soal etika antara ethics conviction dan ethics responsibility. Menurutnya perbuatan yang didasarkan pada ethics conviction adalah perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai intrinsik/kehendak dalam diri pribadinya tanpa mempedulikan apapun konsekuensinya. 

Sebaliknya perbuatan yang didasarkan pada ethics responsibility adalah perbuatan yang didasarkan pada kesadaran tentang konsuensi-konsekuensi dari perbuatan itu dan sekaligus kesiapan dari sang subjek untuk menerima dengan ikhlas konsekuensi yang dihadapi.

BACA JUGA: Mendorong Pasar Tradisional sebagai Warisan Budaya, Menjaga Keunikan dari Nenek Moyang

Tokoh lain adalah Susan Wolf seorang Filosofer dari Universitas John Hopkin yang memopulerkan istilah moral saint yang dibagi menjadi loving saint dan rational saint. Menurut Wolf orang melakukan sesuatu kebaikan dengan loving saint itu artinya dia memang merasa bahagia bila bisa melakukan kebaikan itu, sedangkan yang karena rational saint melakukan kebaikan karena ada alasan-alasan rasional dengan mengorbankan kepentingannya sendiri secara sadar menerima konsekuensinya.

Kembali pada ketidaknetralan Jokowi dalam Pemilu Presiden 2024 ini, bila dianalisis dengan teorinya Weber maupun Wolf kira-kira cenderung pada yang mana ya? Apakah ethics conviction–loving saint ataukah ethics responsibility–rational saint, ataukah malah meta ethics theory?

Maka seperti lagunya Ebiet G Ade yang dinyanyikan pada debat cawapres debat ketiga “barangkali di sana ada jawabnya?” (*)  

Oleh Dr. Didik Sasono Setyadi, SH, MH: pengajar Mata Kuliah Etika dan Akuntabilitas Publik dan dosen tamu Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: