Quick Count
--
Budaya concession speech--ketika hasil pemilihan umum menunjukkan tanda-tanda semakin konklusif berdasarkan hasil polling--merupakan hal yang lumrah di negara-negara demokrasi yang sudah matang seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Pidato tersebut menunjukkan kenegarawanan kandidat dan upaya rekonsiliasi bangsa setelah gigih berkompetisi selama berbulan-bulan sebelumnya.
Tentu saja ada catatannya, yakni pasangan yang berkontestasi sama-sama mengakui hasil polling dan sama-sama mengakui bahwa pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam kasus pilpres Amerika 2019, petahana Donald Trump tidak mau memberikan concession speech setelah pesaingnya, Joe Biden, mengumumkan kemenangan dan memberikan victory speech.
BACA JUGA:Prabowo Ziarah ke Makam Habib Ali Kwitang, Ungkap Hubungan Kedekatan dengan Keluarga
BACA JUGA:Polrestabes Surabaya Ungkap Pelaku Aniaya Anak Hingga Meninggal
Bukan hanya itu. Trump menolak mengakui hasil pemilu dan menuduh KPU Amerika melakukan kecurangan. Trump melakukan provokasi kepada pendukungnya dan mendorong untuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Ribuan pendukung Trump kemudian menyerbu gedung DPR Capitol Hill dengan membawa berbagai jenis senjata api.
Hal yang kurang lebih sama dilakukan oleh Prabowo Subianto pada pemilu 2019. Ketika itu dia kalah dari Joko Widodo yang sudah melakukan victory speech berdasar hasil hitung cepat. Prabowo menolak memberikan concession speech, karena menganggap banyak kecurangan dalam pemilu. Ribuan orang kemudian melakukan unjuk rasa di Kantor Bawaslu yang menyebabkan jatuh korban puluhan orang.
Kali ini kondisinya berbalik. Prabowo-Gibran berkontestasi sebagai capres dengan aroma petahana, karena mendapatkan dukungan total dari Jokowi. Sejak awal sudah sangat terasa aroma keberpihakan Jokowi terhadap pasangan ini.
Film Dirty Vote yang mengungkap semua praktik kecurangan itu sudah ditonton hampir 5 juta pemirsa. Andai Youtube tidak menutup tayangan itu pemirsanya sangat mungkin tembus 10 juta dan bahkan lebih.
Hal itu menjadi indikasi bahwa publik bersikap kritis terhadap berbagai indikasi kecurangan pemilu. Kecurangan dalam bentuk bagi-bagi uang sebelum pencoblosan diduga terjadi secara masal. Intimidasi dan intervensi oleh aparat ditengarai terjadi secara sistematis dan masif.
Ada petugas penyelenggara pemilu yang tidak mengedarkan surat pemberitahuan kepada pemilih dan menggantinya dengan amplop berisi uang. Kartu suara yang sudah tercoblos untuk pasangan 02 ditemukan di beberapa daerah.
Penggelembungan suara ditengarai terjadi secara sistematis. Seorang pemilih memergoki penggelembungan suara sampai angka ratusan di tempatnya mencoblos. Ketika hal ini menjadi viral, Ketua KPU mengakui ada kesalahan input dari hitungan manual aplikasi IT milik KPU. Dugaan adanya 54 juta DPT yang diduga bodong, sampai sekarang belum dijawab secara tegas oleh KPU.
Suasana di beberapa daerah tegang dan cenderung panas. Trust atau kepercayaan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu sedang dipertaruhkan. Hasil hitung cepat --yang terasa berlebihan dan sulit dipercaya-- memunculkan kecurigaan masyarakat bahwa ada kekuatan besar yang mengintervensi pelaksanaan pemilu kali ini.
Joke sang profesor ternyata benar. Pemilu Indonesia paling efektif di dunia karena hasilnya sudah diketahui sebelum pemilu digelar. Sad but true, sedih tapi nyata. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: