Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (8): Istri Landasan Kematian
Lestari Puji Rahayu (kiri) dan putrinya mengenakan batik koleksi Rumah Batik Peri Kecil di Burneh, Bangkalan. Keduanya adalah representasi perempuan Madura masa kini. Dalam kultur Madura, sosok perempuan sangat dihargai. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY
Bila si suami tidak memergoki perzinahan istrinya secara langsung, tapi telah memiliki bukti perselingkuhan, maka ia hanya akan membunuh laki-laki selingkuhan istrinya itu dan tetap menceraikan istrinya. Meski bukti yang dipegang hanya berasal dari kabar yang diterima dari orang lain. "Kalau kabar sudah menyebar, itu bisa dianggap bukti kuat," terang budayawan 63 tahun itu.
Lantas, Abah Doink menunjukkan buku berjudul Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, karya Dr Latief Wiyata. Buku itu mencantumkan syair yang ditulis Imron, sastrawan Madura. Syair yang merepresentasikan martabat dan kehormatan istri sebagai manifestasi martabat dan kehormatan suami.
Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya.
Begitulah bunyi syair tersebut. Dalam budaya Madura, seorang istri kerap disebut sebagai bhantalla pate, atau landasan kematian. Artinya, jika terdapat laki-laki yang nekad mengganggu istri orang, maka tindakannya itu sama saja dengan aghaja' nyaba atau tindakan mempertaruhkan nyawa. Bermain-main dengan nyawa.
Dalam budaya Madura, seorang istri juga perempuan pada umumnya mendapat proteksi khusus. Baik dari pihak keluarga maupun suami. Bahkan sejak kecil. Itu terlihat jelas dalam pola pemukiman taneyan lanjhang. Yakni formasi struktur rumah tradisional yang memiliki berbagai aturan. Melanggarnya bisa berujung carok. (Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: