Memanfaatkan Potensi Blue Food di Indonesia dengan Mengembangkan Halal Food Lifestyle

Memanfaatkan Potensi Blue Food di Indonesia dengan Mengembangkan Halal Food Lifestyle

Halal lifestyle bisa menjadi salah satu unsur penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. -iStock-

Data Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mencatat bahwa potensi blue food Indonesia mencapai 115 juta ton/tahun pada 2023. Di samping itu, blue food menjadi salah satu sumber devisa negara Indonesia dengan nilai mencapai USD 4,5 miliar pada 2021. 

Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa blue food memiliki peluang sangat besar dalam akselerasi halal food lifestyle. Pertama, blue food sudah terjamin kehalalannya. Sebagai bahan pangan yang berbasis akuatik, maka zat makanannya dipastikan halal. 

Hal ini ditegaskan dalam Alquran, Surat Al-Maidah ayat 96. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” 

Bahkan bangkai dari ikan masih tergolong halal. Seperti disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Ibnu Majah: “Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah 3314).

Setidaknya ada tiga syarat makanan itu hukumnya halal ketika dikonsumsi. Yaitu halal zat makanannya, halal cara mendapatkannya, dan halal proses mengolahnya.

Dengan keistimewaan sifat sumber daya akuatik ini, tentu akan lebih mudah untuk menjadikan blue food sebagai garda depan dalam mempromosikan gaya hidup mengonsumsi makanan halal.

Kedua, seafood merupakan salah satu makanan favorit dunia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) dari laman Our World in Data mencatat, rata-rata konsumsi ikan dan seafood dunia pada 2020 adalah 20,25 kg/kapita/tahun dan untuk Asia 24,50 kg/kapita/tahun.


Salah satu peluang dalam industri halal ini adalah sektor bisnis halal food dengan memanfaatkan potensi blue food (pangan biru). -iStock-

Posisi konsumsi ikan dan seafood Indonesia masih di atas rata-rata dunia, yakni sebesar 44,71 kg/kapita/tahun. Namun, jumlah ini masih di bawah Malaysia 53,33 kg/kapita/tahun dan Myanmar 45,85 kg/kapita/tahun pada 2020. 

Meskipun demikian, Indonesia perlu bangga karena salah satu masakan olahan seafood-nya yakni pempek masuk ke dalam daftar 10 besar makanan laut (seafood) terenak di dunia versi situs panduan wisata dan kuliner Taste Atlas (Maret 2023).

Pempek yang merupakan makanan asal Palembang, Sumatera Selatan itu, menempati peringkat keempat seafood terbaik di dunia dengan perolehan nilai sebesar 4,7 poin dari skala 5 poin.

Peringkat ini mengalahkan puluhan jenis olahan seafood dari negara lain seperti sushi dari Jepang hinggga fritto misto dari Italia. Potensi lainnya adalah Indonesia masih menjadi produsen perikanan laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

Ketiga, industri blue food dari hulu sampai hilir bisa menjadi wisata edukasi dan kuliner barbasis halal food. Seperti kegiatan produksi akuakultur (perikanan budidaya) di keramba jaring apung (KJA) di laut. 

Dengan desain dan manajemen pengelolaan yang baik, KJA ini bisa menjadi destinasi wisata edukasi yang unik. Kemudian diintegrasikan dengan wisata bahari di daerah pesisir yang salah satunya terdapat wisata kuliner halal seafood.

Pemerintah sekarang sedang membangun ekosistem halal di Indonesia. Salah satunya dengan membentuk Kawasan Industri Halal (KIH) di beberapa daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: