Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (2): Dampak Kebijakan Neo-liberalisme

Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (2): Dampak Kebijakan Neo-liberalisme

Sisa bangunan cagar budaya Toko Nam ini menjadi salah satu jejak sejarah yang telah lenyap. Kasus pembongkaran bangunan ini merupakan contoh paling aktual walaupun merupakan kasus lama atas dampak kebijakan neo-liberalisme.--

Kasus pembongkaran Toko Nam di Surabaya merupakan contoh paling aktual atas hal tersebut, walaupun merupakan kasus lama. Toko Nam adalah salah satu toko legendaris di Kota Surabaya. Toko ini merupakan toko pertama yang menerapkan penjualan dengan sistem delivery atau pengantaran. 

BACA JUGA: Grha Wismilak Sering Jadi Percontohan Bangunan Cagar Budaya, Penghargaan Berderet-deret

Toko yang terletak di pertigaan antara Jalan Tunjungan dengan Jalan Embong Malang tersebut sudah eksis sejak awal abad ke-20. Warga Surabaya senior hampir dipastikan mengenal dengan baik toko tersebut, sehingga telah menjadi memori kolektif masyarakat Kota Surabaya. 

Toko Nam kabarnya telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada ‘1990an. Tapi entah mengapa toko tersebut kemudian dirobohkan untuk keperluan mendirikan pusat perbelanjaan paling besar dan paling modern di Kota Surabaya pada waktu itu yaitu Tunjungan Plaza.

Saat ini bangunan Toko Nam hanya menyisakan satu tembok memanjang dengan beberapa kusen yang ditopang oleh penopang besi dan menjadi batas antara sekedar kawasan Tunjungan Plaza dengan jalan utama. Disisakannya tembok tersebut sekadar untuk untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang sempat protes hebat sebagai buntut pembongkaran bangunan cagar budaya tersebut.

Kasus pembongkaran Toko Nam di Kota Surabaya merupakan dampak dari perkembangan kota-kota di Indonesia yang nyaris tanpa kendali dan diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. 

Dengan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar maka siapa pun yang memiliki modal besar memiliki kekuatan untuk mengubah kota termasuk membongkar bangunan cagar budaya. Di dalam diskusi internasional, kebijakan semacam itu lazim disebut sebagai kebijakan neo-liberalisme. 

Terkait dengan kebijakan tersebut biasanya pemerintah, terutama pemerintah daerah, sangat akomodatif karena mereka menginginkan agar kotanya tumbuh menjadi kota modern tanpa melihat aspek historis-ideologis atas kota tersebut. 

Selain kasus pembongkaran secara paksa, terdapat bangunan cagar budaya yang rusak karena bencana alam atau pun karena pembiaran tanpa perawatan. Museum Bahari di Jakarta merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang rusak parah karena kebakaran pada awal 2018.

BACA JUGA: Rita Ora Merawat Rumah Cagar Budaya di London Utara yang Flamboyan dan Menawan

Bangunan yang digunakan untuk museum awalnya adalah gudang-gudang rempah yang dibangun pada abad ke-18 oleh perusahaan Belanda VOC. Bangunan tersebut menjadi bukti awal mula penjajahan Belanda di Indonesia yang diawali dari aktivitas perdagangan rempah. Rempah-rempah yang berhasil dikumpulkan oleh VOC sementara waktu disimpan di gudang-gudang tersebut sebelum dikirim ke Eropa. 


Penjara Kalisosok yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tapi kondisinya kurang terawat. Saat ini bangunan ini dimiliki perusahaan swasta yang berkedudukan di Jakarta.--

Bangunan cagar budaya yang rusak akibat pembiaran tanpa perawatan cukup banyak. Di Kota Surabaya paling tidak ada empat bangunan penting yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya tetapi kondisinya merana. Keempat bangunan tersebut antara lain: Penjara Kalisosok, Gedung Singa, Rumah Sakit Mardi Santoso, serta Gedung Gedung Setan. 

Penyebabnya adalah karena bangunan tersebut berstatus sebagai milik perusahaan yang kedudukannya di luar kota. Permasalahan keuangan yang terjadi pada perusahaan pemilik telah menyebabkan perawatan bangunan menjadi sangat minim. Bahkan tidak ada sama sekali. (*)

Oleh: Purnawan Basundoro, sejarawan dan dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: