Seruan Salemba
ILUSTRASI seruan Salemba 2024 oleh akademisi kampus.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. Di Indonesia kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis.
Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan. Para ilmuwan dan intelektual –yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus– berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.
Ketika demokrasi Indonesia menghadapi sakaratul maut seperti sekarang, para aktivis demokrasi berpaling kepada kampus dan mengharapkannya untuk menjadi sumber penyelamat. Tapi, sejauh ini rasanya seperti a cry in the dark, ’teriakan dalam kegelapan’.
Undang-Undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan. Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri. Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit.
Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci. Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari. Ada insentif tambahan untuk kehadiran dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.
Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. Meleset dari target beban kerja, berarti tunjangan melayang. Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang.
Yang terjadi kemudian, banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mendaku dengan menempelkan namanya sebagai ”first author”. Sang dosen masih memaksa para mahsiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.
Kematian universitas adalah fenomena internasional akibat neoliberalisme politik dan ekonomi. Peter Fleming menggambarkan suasana kampus yang kelam di Amerika dan Eropa. Tekanan beban kerja yang sangat berat tidak diimbangi dengan remunerasi dan kompensasi yang memadai.
Di Indonesia belum terdengar ada dosen yang mati bunuh diri karena frustrasi oleh kondisi kampus. Namun, sudah banyak dosen yang meninggal karena tekanan batin yang menyebabkannya mati jantungan.
Protes terhadap komersialisasi kampus yang berlebihan sudah banyak disuarakan. Eksploitasi dan perbudakan yang berlebihan oleh jurnal internasional terakreditasi sudah sangat sering disuarakan. Tetapi, praktik itu tetap berjalan tanpa ada perbaikan.
Beberapa waktu yang lalu Dr Sulardi, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), viral di media sosial karena menulis artikel Aku Malu Menjadi Dosen di Indonesia. Ia memprotes obral penghargaan guru besar oleh kampus kepada pejabat dan politisi.
Sulardi, seorang intelektual yang sangat berintegritas itu, meninggal dunia pada 2020, kemungkinan karena jantung dan tekanan psikis.
Sulardi malu kepada kolega dan keluarga karena sering ditanya kapan menjadi profesor. Sulardi mengatakan, dirinya sudah menjadi dosen perguruan tinggi lebih dari 30 tahun dan sudah menghasilan ratusan karya ilmiah. Tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan Sulardi kecuali mengajar, meneliti, dan menulis.
Gelar guru besar yang diimpikan tak kunjung datang. Sulardi kian merana dan akhirnya meninggal mengenaskan. Andai Sulardi masih hidup –dan tahu bahwa kampusnya menjadi salah satu pendukung fanatik pasangan Prabowo-Gibran– mungkin ia bisa mati berdiri. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: