Menyoal UU ITE yang Jerat Aktivis Lingkungan di Jepara, Jaksa Dinilai Serampangan Terapkan Pasal

Menyoal UU ITE yang Jerat Aktivis Lingkungan di Jepara, Jaksa Dinilai Serampangan Terapkan Pasal

Daniel Frits Maurits yang masih menghadapi tuntutan hukum akibat kritiknya.-Mohamad Nur Khotib-

Sidang pembacaan pledoi terdakwa Daniel Frits Maurits Tangkilisan digelar di Pengadilan Negeri Jepara, 26 Maret 2024. Ini setelah aktivis lingkungan itu dituntut hukuman 10 bulan kurungan dikurangi masa hukuman yang telah dijalani pada Selasa, 19 Maret 2024.

ANDA sudah tahu, Daniel kali pertama dilaporkan lantaran komentarnya di Facebook lewat video berdurasi enam menit pada 12 November 2022. Dalam video itu, Daniel menyoroti kondisi pesisir Karimunjawa yang diduga terdampak limbah tambak udang.

Sejumlah akun warganet kemudian mengomentari unggahan tersebut. Ada yang pro maupun kontra. Daniel membalas salah satu komentar dengan kalimat, “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kayak ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan.”

Pernyataan Daniel itulah yang kemudian dilaporkan ke Polres Jepara pada 8 Februari 2023. Daniel dilaporkan memakai pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE. Daniel kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2023.

BACA JUGA : Pasal Karet Berubah Substansi, Revisi UU ITE Jilid 2 Disahkan

Daniel Frits sempat ditahan di rutan Polres Jepara pada 7 Desember 2023. Ia lantas dibebaskan keesokan harinya setelah permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan. Daniel kembali ditahan pada Selasa, 23 Januari 2024.

Tentu, tuntutan 10 bulan kepada Daniel memancing respons dari publik. Termasuk dari Guru Besar Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto.

“Saya yakin, penyidik mengenakan pasal itu secara serampangan dan tidak tepat,” jelas Prof Henri saat dihubungi, Minggu, 24 Maret 2024. Bahkan, kemungkinan besar dalihnya adalah pengusaha yang dikritik kebetulan dari suku, agama dan ras yang berbeda. Sehingga dikenakan pasal sekenanya terkait provokasi SARA. 

Baginya, penerapan hukum tersebut kacau. Harus diluruskan supaya oknum penegak hukum tidak dijadikan alat oleh pengusaha atau perusahaan. Apalagi untuk membungkam kritik yang datang dari aktivis lingkungan Hidup. 

“Janganlah kritik direspons dengan hukuman badan atau pemenjaraan,” terangnya. Ia berharap jaksa segera mengevaluasi tuntutan kepada Daniel. Prof Henri pun siap membantu meringankan atau membebaskan tedakwa dengan memberikan keterangan ahli bila diperlukan.


Daniel Frits Maurits (tengah) yang masih menghadapi tuntutan hukum akibat kritiknya.-Mohamad Nur Khotib-

Menurutnya, pasal 28 ayat 2 UU ITE itu dibuat untuk mencegah supaya tidak ada provokasi kebencian dan permusuhan SARA di tengah masyarakat yang heterogen. Tujuannya pun jelas. Yakni agar tidak terjadi kerusuhan berbasis SARA. 

Bahkan, pasal itu punya ancaman sanksi berat yaitu maksimal sampai pidana penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Ini semua dimaksudkan untuk ketenteraman dan menjaga keberagaman dari para provokator politik. 

“Tapi kenyataannya, pasal itu oleh penegak hukum yang nakal sering dipakai sembarangan untuk menahan tersangka,” jelasnya. Terutama, tambah Prof Henri, apabila ada relasi dengan orang yang berkuasa atau pengusaha yang punya banyak dana.

Bagi mereka, lanjutnya, yang penting pelaku yang ditarget ditahan dulu. Walau kemudian terdakwa kerap dilepaskan dalam sidang putusan. 

Intinya, para pelaku hanya dibikin kapok atas ulahnya dengan menjalani tahanan hingga persidangan. “Itulah permainan hukum menggunakan UU ITE di berbagai daerah,” tandas mantan staf ahli kementerian komunikasi dan informatika tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: