Mooi Indie dalam Pameran Lukisan Djitoe Memberi Kebaruan Perspektif
Suasana pameran lukisan Djitoe yang dipersembahkan oleh 8 perupa yang mengangkat gaya mooi indie. -M. Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Mooi Indie pernah populer sebagai gaya melukis yang mengungkapkan keindahan alam Hindia Belanda. Ketika itu digunakan sebagai media promosi untuk menarik minat pemodal Eropa agar berkunjung ke Nusantara.
Maka mooi indie identik dengan lukisan pemandangan alam yang indah. Natural, apik dan seakan tanpa cela. Eksotisme Hindia Belanda lewat lukisan bergaya itu terbukti menarik minat orang Eropa. Sehingga gaya itu sekaligus menjadi media propaganda.
Pada era kekinian dengan arus kontemporer dan pemahaman wawasan seni yang semakin tinggi, apalagi perkembangan seni rupa dan kompleksitasnya yang selalu menawarkan kebaruan, gaya mooi indie dianggap usang.
Namun, perlu perspektif baru untuk memaknai mooi indie dalam dunia kontemporer. Mungkin mooi indie dirasa kurang mampu menjadi sarana promosi wisata terkait keindahan alam Nusantara masa kini. Karena telah tergantikan oleh fotografi dan videografi.
Dalam pameran seni rupa Djitoe yang mengusung gaya itu, karya mooi indie mengungkap keindahan masa lalu, pengalaman-pengalaman silam, serta kondisi lingkungan dan kultural masyarakat. Hal-hal semacam itu yang justru tak sempat diabadikan oleh lensa kamera.
Kita melihatnya pesona itu lagi dalam lukisan mooi indie. Seperti karya milik Hendy Prayudi berjudul The Hidden Paradise. Seseorang dengan pikulan berisi tabung-tabung bambu berjalan di tengah hamparan rumput hijau.
Hendy Prayudi, perupa asal Lamongan (kiri), dengan antusias menjelaskan esensi tentang lukisannya yang berjudul The Hidden Paradise yang dituangkan dalam media cat minyak di atas canvas dengan ukuran 140x200 cm kepada salah seorang pengunjung. -M. Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY
Di tengah-tengah jajaran pohon siwalan dan gubuk. "Saya asli Paciran, Lamongan pesisir. Sejak kecil tinggal saya merasakan nuansa alam dan sosial masyarakatnya," ungkap Hendy.
Lelaki pemikul dalam lukisan itu penjual legen, air buah siwalan. Dulu dijajakan dengan pikulan. Dituang dari tabung, pembeli minum dengan gelas batok kelapa. Kini, penjual legen pikulan mulai jarang. Diganti dalam wadah botol plastik dan semacamnya.
Tapi tradisi menderas siwalan untuk menghasilkan legen, masih ada. Namun, jumlahnya kian sedikit. Banyak pohon siwalan ditebang. Bekas lahannya didirikan permukiman atau areal industri.
BACA JUGA: Ambyar! Musik dan Dagelan Cak Suro Hangatkan Balai Pemuda
“Padahal untuk menumbuhkan pohon siwalan dan memanen buahnya butuh waktu 50 tahun. Tak terbayangkan jika makin langka, tradisi menderas pohon siwalan dan legen bisa hilang,” ujar Hendy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: