Tantangan Etika dan Identitas dalam Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional 2024 dan Ki Hadjar Dewantara-Sejarah serta makna Pendidikan dalam kerangka Tut Wuri Handayaniyani-Kemdikbud/Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY
Sebuah fenomena menarik dan penting dalam dunia pendidikan ketika menilik bagaimana peran pendidik sering kali disalahgunakan atau diabaikan, baik dalam konteks pemasaran sekolah maupun dalam manajemen internal sekolah itu sendiri.
Pertama, tentang penggunaan figur pendidik sebagai alat pemasaran. Pendidik sering kali diposisikan sebagai wajah sekolah, digunakan dalam promosi dan iklan untuk menarik minat calon siswa dan orang tua.
Namun, itu dilakukan tanpa memperhatikan keseluruhan kepentingan dan kesejahteraan pendidik itu sendiri. Penggunaan gambar mereka, bahkan setelah mereka meninggal atau mengundurkan diri, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap hak individu dan privasi mereka.
Kedua, dalam hal merekrut staf pendidik baru, fokus ditempatkan pada kriteria seperti usia muda, keterampilan teknologi, dan dedikasi tinggi. Hal itu dapat menyebabkan pendidikan lebih memprioritaskan aspek-aspek tertentu daripada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Penting untuk diingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang nilai-nilai, etika, dan kepedulian terhadap siswa. Menjadi catatan penting terhadap matinya adagium ing ngarso sung tulodho.
Yang ketiga, dan mungkin yang paling menonjol, adalah perubahan perilaku dan sikap pendidik yang menjadi lebih arogan dan tidak responsif terhadap kebutuhan siswa. Pendidik seharusnya menjadi teladan bagi siswa, baik dalam sikap, tindakan, maupun keputusan.
Namun, jika mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan aspirasi siswa, itu bisa menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam lingkungan pendidikan.
Semuanya itu menekankan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya etika dan integritas dalam manajemen pendidikan.
Pendidik harus dihormati, diberdayakan, dan dianggap sebagai mitra dalam proses pendidikan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Itu membutuhkan budaya organisasi yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada keadilan. Yakni, peran dan kontribusi setiap anggota komunitas pendidikan dihargai dan dihormati.
Garis merah antara perayaan Hari Buruh dan Hari Pendidikan mengungkap sebuah paradoks yang menarik.
Di satu sisi, ada upaya untuk merayakan kontribusi dan perjuangan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Namun, di sisi lain, terdapat ironi karena banyak dari mereka yang setia dan berdedikasi terhadap organisasi sering tidak mendapatkan apresiasi yang sepadan.
Ketika anggota tim memiliki keberanian untuk menyuarakan ide kritis atau membagikan kekhawatiran yang membangun, mereka sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak manajemen.
Sebagai hasilnya, aspirasi dan masukan yang seharusnya bernilai untuk perbaikan organisasi sering kali diabaikan, meninggalkan karyawan merasa tidak dihargai dan tidak terdengar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: