Perjuangan Perempuan di Balik Kain, Pameran Wastra Nusantara Koleksi KCBI
Dalam pameran bertajuk Cerita Wastra Nusantara – Cerita Kainku yang digelar KCBI bersama Bentara Budaya Jakarta, ada 60-an lembar kain koleksi para anggota KCBI. -Yusuf Susilo Hartono-
Sayang tidak semua kain punya keterangan rinci dan lengkap. Padahal cerita atau sejarah kain itu penting untuk diketahui publik. Khususnya generasi muda yang ingin tahu banyak soal kain atau wastra.
BACA JUGA: Mooi Indie dalam Pameran Lukisan Djitoe Memberi Kebaruan Perspektif
Di antara itu, cerita Martha Sinaga sangat menarik. Ternyata tidak semua koleksi itu dibeli dengan uang sendiri. Kain tenun Maumere diterima Martha sebagai "ucapan terima kasih" dari keluarga Martin Salys.
Tepatnya atas pemberian nama Bunga untuk putri temannya yang yang meninggal tertabrak mobil saat perjalanan hendak melihat kelahiran putrinya. Kain-kain milik kolektor lainnya diperoleh dengan berbagai cara.
Ada yang naksir kain sejak kuliah tapi baru bisa dibeli dengan gaji pertama setelah bekerja. Ada yang warisan orang tua, hadiah pengantin, oleh-oleh suami bertugas, pemberian anak, dan lain-lain.
BACA JUGA: Berkunjung ke Surabaya, Mahasiswa University of Marburg Gelar Culture Oddysey
Kain-kain berusia tahunan hingga lebih tua dari Indonesia merdeka ada pada kain batik Sarpa Wijaya Kusuma, Solo, tahun 1930-1935 yang dikoleksi Puspita Dewi. Berfungsi untuk dipakai ke pesta, silaturahmi ke keluarga, upacara pengantin, perlengkapan menari, hingga pengobatan.
Menurut Ketua KCBI Sita Hanimastuty, pameran ini selaras dengan cita-cita KBCI. Sebagai salah satu garda depan, komunitas yang telah sepuluh tahun terakhir ini berkiprah, selalu menggelorakan semangat kecintaan perempuan mengenakan kain (batik hingga tenun) sehari-hari terutama di ranah publik.
Sita ingin semakin banyak perempuan Indonesia mau memakai kain sehari-hari dalam acara resmi maupun tidak resmi. Namun, tak dipungkiri bahwa fakta di lapangan menunjukkan banyak perempuan Indonesia.
BACA JUGA: Pameran Karya Aksara Jawa Kuna Nawasena Interpretasikan Sejarah Lampau
Khususnya di perkotaan, menganggap bahwa berbusana dengan memakai kain tradisional itu kuno, ketinggalan zaman, tidak modern, dan tidak praktis. Sehingga mereka memilih pakaian-pakaian masa kini yang fashionable.
Termasuk mengenakan celana yang lazim dipakai laki-laki. Padahal, para perancang busana banyak menghasilkan rancangan busana berbasis kain tradisional yang hasilnya trendi. Mungkinkah harganya tak terjangkau kaum muda perkotaan?
Terkait tujuan itu, ekosistem pelestarian wastra atau kain (batik hingga tenun di berbagai daerah di Indonesia) harus melibatkan banyak pihak. Mulai dari penentu kebijakan, perancang motif, pemilik modal, perajin, pemasar, penjual, pembeli, kolektor, pengamat, hingga pemakai.
BACA JUGA: Pameran Ratusan Brand Produk Ibu dan Anak Digelar di Grand City Surabaya
Masing-masing bagian dari ekosistem tersebut, sama-sama penting, dalam peran dan fungsinya yang berbeda-beda. Ada yang berkaitan dengan regulasi, permodalan, bahan baku, nilai ide dan gagasan, dan keterampilan mewujudkan gagasan (desainer).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: