Santo Carlo Acutis: The Cyberapostle, Sang Santo Milenial Pertama
WAJAH CERAH Santo Carlo Acutis di makamnya yang terletak di Gereja Santa Maria Maggiore, Asisi, Italia.-AFP-
Namun, di balik semua itu, tersembunyi cinta yang mendalam dan tulus Carlo terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus.
Cintanya pada Sakramen Mahakudus sudah tertanam bahkan sejak masa kecilnya. Setiap kali ia melewati sebuah gereja, hatinya selalu bergejolak dan selalu ingin "menyapa" Yesus.
Saat usianya menginjak 7 tahun, dengan penuh harap, ia meminta kepada suster setempat untuk diizinkan menerima Komuni Pertama lebih awal daripada rekan sebayanya. Permintaannya pun dikabulkan.
Sejak menerima komuni pertama, Carlo tidak pernah absen menghadiri misa harian. Dengan teladan dan penuh kasih, ia mengajak kedua orang tuanya mengunjungi tempat-tempat suci yang menjadi saksi mukjizat Ekaristi, lalu mendokumentasikannya.
BACA JUGA:Romo Satya, Pastor Katolik yang Jadi Anggota TNI-AL atas Dorongan Mendiang Uskup Surabaya
UPACARA PENOBATAN Carlo Acutis menjadi Beato pada 2020.-AFP-
Setelah mengabadikannya, Carlo membagikan pengalamannya itu dalam sebuah situs web yang ia buat dengan tangan mungilnya.
Situs web itu memuat kisah-kisah mukjizat ekaristi, menjelaskan tempat dan waktu terjadinya dengan detail yang menakjubkan.
Meskipun masih belia, Carlo sudah mahir menggunakan komputer dan internet, yakin bahwa jika semua orang menyadari kehadiran nyata Yesus dalam Sakramen Ekaristi, maka hati mereka pasti akan berbalik kepada Tuhan.
Dalam keheningan hatinya, Carlo menyadari bahwa ia akan pergi meninggalkan dunia ini di usia muda.“Saya bukan contoh kesucian. Tapi bagi saya Carlo seperti seorang guru, ia istimewa, tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengkritik,” terang Antonia.
BACA JUGA:Syarat Uskup Baru dalam Gereja Katolik: Apa yang Terjadi setelah Uskup Wafat?
Pada usia sebelas tahun, Carlo menerima Sakramen Krisma dan segera menjadi seorang katekis (pewarta agama) yang giat.
Ia menemui banyak imigran, berbicara dengan penuh kasih dan pengertian, bahkan menjadi wali baptis bagi mereka yang ingin dibaptis.
Di sekolah, ia dikenal dan disayangi. Carlo juga tidak ragu berteman dengan anak-anak dari rumah tangga yang bermasalah, membela teman-temannya yang penyandang disabilitas, dan selalu bersikap sopan kepada perempuan.
Tanpa gentar, ia mempertahankan iman Katoliknya, termasuk pandangan yang memihak kehidupan, meski harus menghadapi cibiran teman-teman sebayanya. Sebab, menjadi sosok religius tidak mudah, karena pasti akan dicap sebagai orang sok suci.
BACA JUGA:Paus Fransiskus Tutup Konferensi Pemuda Katolik Dunia dengan Misa Terbuka yang Megah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: