Menilik Fenomena Bisnis Joki dalam Pendidikan Indonesia (2) : Dosen pun Dilanda Dilema…
Ilustrasi seorang mahasiswa yang terbebani banyak tugas. Biasanya mereka tertarik menggunakan jasa para joki.--Gencraft
Suburnya bisnis joki tugas di tanah air, tak bisa dipungkiri, sudah mencederai dunia akademik. Terlebih oleh mereka yang memiliki pola pikir praktis. Kalau ada yang gampang, ngapain pilih yang sulit?. Sungguh miris.
-------
BEGITULAH realita di lapangan. Tingginya beban akademik, ekspektasi nilai, hingga deadline tugas yang singkat, kerap membuat mahasiswa merasa depresi. Belum lagi, terkadang mereka masih dihadapkan dengan padatnya aktivitas non akademik. Seperti berorganisasi dan bekerja.
Tak ayal, situasi itulah yang membuat jasa joki menjadi solusi menarik. Win-win solution. Terutama bagi mahasiswa yang terbiasa dengan cara-cara instan. Cukup dengan bayar joki, nggak perlu ngoyo, tugas kelar tepat waktu, dan nilainya aman. Begitu kira-kira.
Lantas, apakah situasi tersebut membuat keberadaan joki layak dianggap wajar atau normal? Itu masih menjadi perdebatan panjang. Juga sedang ramai di media sosial. Yang jelas, kehadiran joki tak lepas dari adanya permintaan layanan tersebut di lapangan.
BACA JUGA:Joki SBMPTN Masuk Bui
Terus terang, jasa joki yang semakin dinormalisasi membuat semua resah. Tak terkecuali bagi dosen sebagai tenaga pendidik. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro sudah lama merasa terusik akan keberadaan para joki tugas.
Ilustrasi seorang mahasiswa yang kelelahan menghadapi banyak tugas. --Gencraft
“Industri joki itu menurunkan kualitas kegiatan belajar mengajar yang selama ini dibangun susah payah oleh kampus. Istilahnya, proses pembelajaran akhirnya berubah menjadi serba instan,” ujarnya kepada Harian Disway, Senin, 29 Juli 2024.
Menurut Verdy, meskipun kampus sudah membuat larangan, di luar sana sudah ada ruang terbuka yang mendukung bisnis joki. Seperti lingkaran setan. Mengingat problematika pendidikan di Indonesia begitu kompleks.
Terlepas dari beban akademik yang sama-sama berat, buruknya komunikasi antara mahasiswa dan dosen semakin memperkeruh keadaan. Proses pembelajaran dan pendampingan menjadi berjalan kurang maksimal. Itu kerap dialami oleh mahasiswa tingkat akhir.
“Itu membuka keran industri Joki. Tidak terlepas dari beban yang terlalu besar, juga rasio dosen mahasiswa. Dosen maksimal berapa bimbingannya, batasan mengajarnya. Jadi saya kira tidak bisa sepenuhnya menyalahkan satu dua pihak,” imbuhnya.
Memang tidak mudah untuk mengawal kualitas studi di kampus. Di satu sisi, pendidik berhak memberikan sanksi kepada pengguna joki untuk efek jera. Namun, di lain sisi, kampus juga dituntut untuk menghasilkan lulusan yang baik.
Kampus sedang dalam posisi dilema. Ketika menerapkan sanksi akademik, citra kampus jadi dipertaruhkan. Misalnya, karena banyak mahasiswa yang tidak lulus atau mendapat nilai tidak maksimal. Lagi-lagi, ada bayang-bayang akreditasi dan perankingan dunia.
“Prinsip kampus selalu tidak menormalisasi itu (praktik joki tugas, Red). PR kita, bagaimana mengembalikan universitas bukan hanya sebagai penghasil lulusan tmendidik generasi agar berintegritas,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: