Alat Kontrasepsi di Sekolah, Kesehatan Reproduksi atau Moralitas?

Alat Kontrasepsi di Sekolah, Kesehatan Reproduksi atau Moralitas?

ILUSTRASI Alat Kontrasepsi di Sekolah, Kesehatan Reproduksi atau Moralitas?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Norma moralitas yang berbeda di masyarakat sering kali menciptakan tantangan dalam implementasi kebijakan kesehatan reproduksi. Pasal 103 Ayat 4 PP Nomor 28 Tahun 2024 memprioritaskan penyediaan layanan yang inklusif dan berbasis bukti. 

Namun, hal tersebut juga memicu perdebatan tentang bagaimana moralitas seharusnya memengaruhi kebijakan itu. 

Dibukanya askes pendidikan seksualitas dan penyediaan alat kontrasepsi di sekolah menjadi titik perdebatan karena dianggap dapat  mendorong perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan standar moral bangsa Indonesia. Misalnya, tercipta peluang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.

Namun, di sisi lain, kebijakan yang tertuang dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 pasal 103 tersebut merupakan langkah penting untuk mencegah penyakit, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja secara keseluruhan. 

Tidak dapat ditampik bahwa angka perilaku seks bebas di luar pernikahan yang terjadi di kalangan remaja cukup mengkhawatirkan. 

Itulah yang diungkap Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per lima tahun), bahwa sekitar 2 persen remaja wanita usia 15–24 tahun dan 8 persen remaja pria di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan 11 persen di antaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. 

Di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pranikah 59 persen wanita dan 74 persen pria melaporkan mulai berhubungan seksual kali pertama pada umur 15–19 tahun.

KESEIMBANGAN KESEHATAN DAN MORALITAS 

Untuk menyeimbangkan antara kesehatan reproduksi dan moralitas, pendekatan yang inklusif dan sensitif terhadap keragaman nilai tetap harus diutamakan. 

Pertama, penting untuk memahami bahwa moralitas bersifat subjektif dan bervariasi antara individu dan komunitas. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan reproduksi harus mempertimbangkan keragaman itu dan berupaya untuk memberikan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif.

Kedua, penting untuk menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi yang tidak hanya berbasis pada informasi medis, tetapi juga menghormati nilai-nilai lokal dan budaya. 

Itu berarti, penyuluhan tentang kesehatan reproduksi harus disampaikan dengan cara yang arif terhadap konteks budaya dan norma-norma masyarakat, sambil tetap memastikan bahwa informasi yang diberikan akurat dan bermanfaat. Misalnya, pemberian alat kontrasepsi hanya bisa diberikan kepada siswa yang sudah menikah.

Ketiga, dialog antara pembuat kebijakan, tenaga medis, dan masyarakat perlu dilakukan secara berkelanjutan, untuk mengidentifikasi dan mengatasi kekhawatiran terkait moralitas tanpa mengabaikan pentingnya akses terhadap pelayanan kesehatan. 

Dengan cara itu, kebijakan dapat disusun dengan mempertimbangkan kepentingan dan nilai-nilai semua pihak, sekaligus memastikan bahwa hak individu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas tetap terjamin. 

Dengan demikian, sangat penting untuk diperjelas kembali oleh pemerintah, bagaimana implementasi dari pasal 103 ayat 4 tentang penyediaan alat kontrasepsi di sekolah. Penyediaan alat kontrasepsi itu ditujukan kepada siapa? Juga, bagaimana prosedur operasional standarnya dari pemberian alat kontrasepsi bagi siswa-siswi di sekolah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: