Nasionalisme Baru
ILUSTRASI nasionalisme baru. Semangat nasionalisme kembali tumbuh di tengah perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: Nasionalisme Ekonomi
Bukan hanya gula yang kita belum berdaulat. Tapi, juga sektor pangan lain. Beras, bawang merah dan bawah putih, kedelai, gandum, bahkan jagung. Padahal, kita diberi alam yang sangat subur. Yang memungkinkan hampir semua tanaman bisa hidup di negeri ini. Termasuk tanaman untuk bahan pokok.
Kenyataan itu menimbulkan pertanyaan, kenapa dulu kita bisa mengekspor –bahkan menjadi sasaran penjajahan karena berbagai bahan makanan– kok kini menjadi pengimpor? Selama ini, yang menjadi alasan adalah menyalahkan hukum pasokan dan permintaan. Permintaan yang terus meningkat karena pertambahan penduduk.
Alasan itu benar kalau hanya dilihat dari teori supply-demand. Namun, menjadi pertanyaan ketika hal itu dibiarkan begitu lama. Jika impor gula akibat meningkatnya permintaan sejak 1967, berarti lebih dari lima dekade masalah itu tak teratasi. Berarti, ini soal tata kelola.
BACA JUGA: Usung Moderasi Beragama, Kuatkan Nasionalisme
BACA JUGA: Nasionalisme sebagai Kunci Pertumbuhan
Berarti, ini soal komitmen kita dalam menyelesaikan masalah pokok: pangan. Padahal, dulu kita dikenal sebagai bangsa agraris. Mayoritas penduduk kita bergantung hidupnya dari pertanian. Namun, kenyataannya kita tidak hanya kekurangan bahan pokok pangan, tapi juga produsen pangan kita yang disebut petani tak bertambah sejahtera.
Karena itu, sudah saatnya kita mulai secara jujur mengakui bahwa persoalan utamanya adalah tentang tata kelola. Tata kelola pertanian kita. Tata kelola perkebunan kita. Tata kelola dalam menyeimbangkan pasokan dan permintaan dalam hal kebutuhan pokok kita.
Memang ada negara yang menggantungkan kebutuhan pangan dalam negerinya dari negara lain. Jepang, misalnya. Tingkat ketahanan pangan negeri itu sekarang hanya 37 persen. Berarti, untuk 63 persennya, mereka sangat bergantung impor dari luar negeri.
Meski punya tingkat ketahanan pangan yang rendah, mereka punya keunggulan di sektor lain. Dengan demikian, mereka tetap punya kedaulatan ekonomi meski untuk memasok pangan bagi penduduknya harus mendatangkannya dari luar negeri. Mereka tak punya lahan subur dalam skala luas seperti kita.
Jika merdeka kita artikan sebagai keadaan suatu negara untuk bisa berdaulat, kita masih harus terus berjuang. Kita perlu mengubah pola pikir sebagai negeri jajahan dengan tetap membiarkan bergantung kepada negeri lain. Apalagi, di tengah ketergantungan itu, ada sebagian orang yang diuntungkannya.
Pola pikir bahwa kebutuhan pangan kita bisa diatasi dengan importasi pada dasarnya adalah pola pikir bangsa yang belum merdeka. Sebab, dengan membiarkan hal tersebut, berarti memberikan ruang hilangnya kedaulatan kita. Bahkan, memberikan ruang kepada sekelompok orang untuk menjajah bangsa sendiri.
Rasanya memang kita harus mulai mengubah paradigma dalam melihat persoalan pangan kita. Paradigma dalam menyusun kebijakan pangan. Bukan sekadar mengikuti hukum pasok-permintaan, melainkan paradigma produktivitas. Bagaimana mengembangkan produktivitas petani kita.
Hanya dengan secara serius memikirkan bagaimana meningkatkan produktivitas petani, selain bisa meningkatkan kadaulatan pangan, kita sekaligus dapat mendongkrak kesejahteraan mereka. Tidak memerosotkan kesejahteraan petani, tetapi memakmurkan pedagang.
Nasionalisme bukan hanya cinta NKRI. Tapi, juga bagaimana secara terus-menerus memakmurkan negeri ini. Dan, itu bisa dimulai dari memakmurkan para produsen bahan pokok pangan. Merdeka! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: