Ekonomi Hijau, Sebuah Harapan Indonesia Emas 2045

Ekonomi Hijau, Sebuah Harapan Indonesia Emas 2045

ILUSTRASI ekonomi hijau, sebuah harapan Indonesia Emas 2045.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Bangun Optimisme Jatim Menuju Indonesia Emas 2045

Pemotongan subsidi bahan bakar fosil yang berbahaya dapat membantu menciptakan ruang fiskal yang diperlukan untuk investasi ramah lingkungan lebih lanjut. Upaya terbesar harus dilakukan negara-negara emerging market dan berkembang lainnya, yang perlu meningkatkan pertumbuhan investasi hijau secara besar-besaran dan mengurangi investasi bahan bakar fosil.  

Hal itu memerlukan transfer teknologi dari negara-negara maju lainnya dan Tiongkok, serta pendanaan yang besar, yang sebagian besar berasal dari sektor swasta. Namun, sebagian lagi bersifat konsesi.

Mengenai pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, hanya ada sedikit harapan untuk mencapai kemajuan di luar kerangka kerja dan kerja sama multilateral. Ini adalah satu di antara sekian banyak tugas yang ada dalam pikiran negara kita.  

Diperlukan negosiasi dengan pemain besar di dunia untuk kedaulatan kredit karbon. Bank Indonesia harus bekerja sama dengan pemerintah dan 20 negara anggota kerja sama ekonomi internasional untuk mewujudkan hal itu sesuai dengan kesepakatan di KTT G20 Bali 2022. 

MEMBUTUHKAN SDM YANG ANDAL

Permasalahannya adalah lemahnya sumber daya manusia kita. Dekarbonisasi perekonomian dunia memerlukan tenaga kerja yang memiliki keterampilan untuk mendukung penyebaran teknologi yang ramah terhadap iklim. 

Dampak reformasi sistem pendidikan mungkin lambat terwujud sehingga untuk menuju pada tujuan kemajuan iklim akan bergantung pada peningkatan alokasi pekerja dari pekerjaan ”industri” ke pekerjaan ”ramah lingkungan”. 

Oleh karena itu, hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai apakah tenaga kerja di negara kita memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung penyebaran teknologi ramah iklim secara luas (”keterampilan ramah lingkungan”).

Diperlukan waktu yang lama sebelum dampak reformasi sistem pendidikan dapat terlihat, kemajuan yang berkelanjutan menuju tujuan iklim yang ramah akan bergantung pada peningkatan alokasi sumber daya manusia yang ada.

Jika profil keterampilan pekerjaan di sektor hijau yang sedang berkembang tidak banyak tumpang tindih dengan profil keterampilan di sektor industri dan sektor automasi, hambatan terhadap realokasi dan biaya penyesuaian akan lebih tinggi.  

Selain itu, perpindahan pekerja di sektor-sektor yang menimbulkan polusi tanpa adanya realokasi yang lancar menuju pekerjaan ramah lingkungan juga dapat mengurangi political acceptability terhadap kebijakan iklim sehingga memperlambat upaya dekarbonisasi. Akibatnya, para pembuat kebijakan mungkin perlu mempertimbangkan pengalihan dana dari subsidi modal fisik ramah lingkungan ke sumber daya manusia ramah lingkungan. (*)


*) Wasiaturrahma adalah guru besar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: