Zohran Mamdani dan Politik Harapan di Tengah Ketimpangan: Sebuah Cermin dari New York untuk Indonesia

Zohran Mamdani dan Politik Harapan di Tengah Ketimpangan: Sebuah Cermin dari New York untuk Indonesia

ILUSTRASI Zohran Mamdani dan Politik Harapan di Tengah Ketimpangan: Sebuah Cermin dari New York untuk Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KETIKA Zohran Mamdani memenangkan kursi wali kota New York, banyak yang mengira itu sekadar kebetulan sejarah: seorang anak imigran, keturunan Afrika dan Asia Selatan, menjadi simbol politik progresif baru. 

Namun, jika kita lihat lebih dalam, kemenangan Mamdani adalah sinyal bahwa politik sedang berubah arah –dari retorika menuju relevansi, dari elitisme menuju empati. Ia tidak menjual mimpi besar, tetapi menjawab kebutuhan kecil yang sehari-hari dirasakan banyak orang.

Pesannya sederhana: buat kota ini terjangkau bagi semua.

BACA JUGA:Zohran Mamdani for President

BACA JUGA:Zohran Mamdani Bentuk Tim Transisi yang Semuanya Perempuan, Siap Pimpin New York Mulai 1 Januari 2026

Dalam satu kalimat itu, Mamdani merangkum seluruh keresahan urban: perumahan yang tak terjangkau, transportasi mahal, gaji yang tak cukup, dan biaya hidup yang melesat. ”A city we can afford,” katanya malam itu. 

Di tengah derasnya jargon politik dan ekonomi, kalimat tersebut menembus batas ideologi dan kelas sosial. Sebab, ia berbicara tentang rasa hidup, bukan teori.

POLITIK YANG MENYENTUH TANAH

Mamdani tidak datang dari langit. Ia datang dari jalanan Queens –dari pasar, halte bus, dan blok apartemen tempat warga bekerja dua pekerjaan untuk sekadar bertahan. Kampanyenya tak disusun oleh konsultan komunikasi mahal, tapi oleh 100 ribu relawan yang mengetuk lebih dari 3 juta pintu rumah.

BACA JUGA:Zohran Mamdani Unggul di Pilwalkot New York, Trump Cemas

BACA JUGA:Profil Zohran Mamdani, Calon Wali Kota Muslim Pertama New York yang Pro Palestina

Itulah politik akar rumput dalam makna paling harfiah: tubuh-tubuh yang bergerak, suara-suara yang menggema dari pintu ke pintu.

Ia menolak uang korporasi, menolak lobi besar, dan memilih donasi kecil dari warga –rata-rata hanya USD36. Dalam sistem yang terbiasa dengan uang besar dan janji kosong, langkah itu terdengar gila. Namun, justru di situlah kekuatannya. Sebab, di balik angka kecil itu ada rasa percaya yang besar.

Mamdani mengerti bahwa demokrasi sejati tidak hidup di ruang rapat, tapi di ruang tamu rakyat. Bahwa politik bukan tentang memenangkan kursi, melainkan memenangkan kepercayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: