Empat Kali Deflasi Beruntun

Empat Kali Deflasi Beruntun

ILUSTRASI empat kali deflasi beruntun secara month-to-month. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ketika deflasi berlangsung terlalu lama, laba perusahaan mulai menurun. Kondisi ekonomi perusahaan untuk menjual produk mereka dengan harga yang makin rendah. Perusahaan selanjutnya akan memangkas biaya produksi, mengurangi upah karyawan, memberhentikan pekerja, dan bahkan menutup fasilitas produksi.

Jika itu terjadi, pengangguran akan meningkat, ekonomi tidak dapat berkembang, dan orang-orang tidak akan membelanjakan uang mereka karena masa depan ekonomi mereka tampak tidak pasti. Ekonomi yang melemah merupakan berita buruk bagi konsumen, pekerja, bisnis, dan investor.

Pada masa inflasi, pemerintah mengekang pengeluaran dan mendorong tabungan dengan menaikkan suku bunga. Pemerintah melakukan yang sebaliknya untuk mendorong pengeluaran selama deflasi. Tetapi, beda dengan kenaikan, penurunan suku bunga ada batasnya. Tentu sulit untuk menurunkan suku bunga nominal ke level negatif. 

Karena itulah, deflasi kali ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah perlu menjaga daya beli dengan kebijakan sosialnya. Menaikkan subsidi dan bantuan tunai, pangan, dan lainnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Itu akan berdampak pada terjaganya konsumsi.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa PHK tidak akan banyak terjadi. Upaya deindustrialisasi harus terus dimatikan dengan mengeluarkan berbagai insentif. Merangsang industri dalam negeri bisa terus berproduksi. Membuka lapangan kerja dan menghindari PHK. 

Makin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka, makin banyak masyarakat yang berpendapatan. Dengan begitu, akan makin banyak masyarakat yang mengonsumsi barang dan jasa, lalu permintaan naik, prospek usaha dan investasi meningkat yang akan mengundang makin banyak investasi baru. Ekonomi pun terjaga. 

Selain itu, pemerintah perlu menjaga kelas menengah. Sebab, tren penduduk kelas menengah Indonesia kini makin  menurun. Itu disebabkan tekanan harga hingga perubahan gaya hidup. Menurut BPS, penurunan penduduk kelas menengah mulai terjadi pada 2020, ketika masa pandemi Covid-19. 

Pada 2019 jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang. Hingga tahun 2024, tercatat jumlah kelas menengah tersisa 47,85 juta orang. Itu berarti, jumlah tersebut turun 9,48 juta orang atau turun 16,5 persen sejak 2019.

Kriteria kelas menengah adalah penduduk yang pengeluarannya 3,5–17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau sekitar Rp 2.040.262–Rp 9.909.844 per kapita per bulan. Sementara itu, kriteria menuju kelas menengah memiliki pengeluaran berkisar 1,5–3,3 kali garis kemiskinan atau Rp 874.398–Rp 2.040.262 per kapita per bulan.

Kebanyakan kelas menengah berada di  pengeluaran Rp 2.056.494. Itu berarti, penduduk kelas menengah memang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan kelas menengah yang sebesar Rp 2.040.262. Itu jelas menunjukkan mereka sulit naik menuju  kelas atas dan rentan untuk jatuh ke kelompok menuju kelas menengah. Bahkan rentan miskin. 

Menjaga kelas menengah itu penting. Sebab, kelas menengah dan menuju kelas menengah akan menjadi bantalan perekonomian pada masa mendatang. Sebab, jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah mencakup 66,6 persen total penduduk. Konsumsi pengeluarannya mencakup 81,49 persen dari total konsumsi masyarakat.

Sebagian besar kelas menengah adalah pekerja sektor formal. Artinya, menjaga mereka bisa dilakukan dengan memastikan mereka tetap baik-baik saja di pekerjaannya. Tidak ada PHK dan tetap terbuka peluang kerja bagi pencari kerja baru. (*)


*) Imron Mawardi adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: