Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi

Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi

ILUSTRASI merawat demokrasi, menghidupkan oposisi. Sejak 10 tahu ini demokrasi Indonesia mengalami kemunduran.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Demokrasi Prosedural dan Substantif

Sederet nama itu meraih kekuasaan melalui proses politik yang legal, yakni pemilihan umum, bersekutu dengan tokoh-tokoh politik yang berkuasa, tapi corak kekuasaanya mengancam demokrasi. Potret itulah yang juga dihadapi demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terkahir ini. 

PRODUK DEMOKRASI ELEKTORAL

Meski produk demokrasi elektoral, Jokowi sangat sadar bahwa dirinya sangat membutuhkan ”kunci-kunci kekuasaan” agar posisinya sebagai presiden bisa ”husnulkhatimah” sampai akhir masa jabatannya. 

Kalau perlu, ditambah atau diperpanjang. Strategi politik pun dibangun dengan menempatkan orang-orangnya di posisi strategis untuk menjaga pagar kekuasaannya selama 10 tahun agar tidak diganggu. Pada periode pertama (2014–2019), Jokowi membentuk koalisi (kabinet) jumbo dengan mengakomodasi 85 persen kekuatan partai politik di parlemen. 

BACA JUGA: Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian

BACA JUGA: Demokrasi Fandom

Dengan demikian, parlemen pun di bawah kooptasi kekuasaan eksekutif. Semua kepentingan kekuasaan via kebijakan relatif berjalan mulus di parlemen meski sering kali bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat.

Pada periode kedua (2019–2024), perilaku dan watak kekuasaan Jokowi tidak berubah, bahkan makin tidak terkontrol. Pasca-Pemilu 2019, Jokowi kembali membangun koalisi pemerintahan yang gemuk sekaligus mengooptasi kekuatan partai politik di parlemen, dengan menyisakan PKS. 

Bahkan, atas nama ”rekonsiliasi nasional”, lawan politik di Pilpres 2019, Prabowo Subianto, diajak masuk koalisi pemerintahannya. Praktis, selama 10 tahun terakhir, kehidupan demokrasi niroposisi (chek and balance). 

BACA JUGA: Demokrasi Apartheid dan Judicial Overhaul ala Benjamin Netanyahu

BACA JUGA: Hantu Demokrasi atau Pemulihan Ekonomi

Secara politik, dengan arsitektur politik-kekuasaan, baik di parlemen (DPR dan MPR) maupun di kabinet, pagar politik Jokowi sangat kuat, imun dan aman dari terpaan angin politik di parlemen maupun luar parlemen. 

Akibatnya, wajah demokrasi kian buram, indeks demokrasinya pun turun. Selama 10 tahun terakhir, dengan praktik politik kekuasaan yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, indeks demokrasi Indonesia menurun. 

Sejumlah lembaga internasional memotret penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sejak kepemimpinan Jokowi. Freedom House menyebut indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin ke 53 poin pada 2019–2023. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: