Demokrasi Apartheid dan Judicial Overhaul ala Benjamin Netanyahu

Demokrasi Apartheid dan Judicial Overhaul ala Benjamin Netanyahu

Ilustrasi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. --

PENGGUNAAN kosakata ini mungkin kurang tepat. Atau, tidak pernah kita temukan dalam terminologi ilmu politik dan hubungan internasional. Tetapi, saya sengaja menggunakan istilah ”demokrasi apartheid” untuk menggambarkan kebijakan standar ganda dalam pemerintahan Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Mengapa?

 

Demokrasi yang Semu

Israel, dalam kampanye mereka pada berbagai forum internasional, mendeklarasikan diri sebagai negara yang demokratis. Sistem pemerintahannya parlementer. Presiden sebagai kepala negara dan tata kelola pemerintahan dipimpin seorang perdana menteri. Perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) atau di Israel disebut ”Knesset”. 

Sebagai negara demokrasi, Israel memberikan kebebasan kepada semua warga negaranya untuk menyampaikan pendapat. Kepala pemerintahan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum, tentu saja suara rakyat disalurkan melalui partai politik peserta pemilu.

Secara demografis, penduduk Israel terdiri atas etnis Yahudi (73,6 persen), Arab (21,1 persen), dan sisanya etnis yang lain. Sebagai negara Yahudi, warga Arab adalah penduduk mayoritas terbesar kedua di Israel. Tidak heran, selain bahasa Ibrani, bahasa Arab banyak digunakan di Israel dan Islam menjadi agama terbesar kedua di Israel. Dari 9,7 juta penduduk Israel, sekitar 18,1 persen (1,7 juta jiwa) beragama Islam.

Namun, Israel adalah negara yang dibangun atas semangat zionisme (gerakan nasionalisme bangsa Yahudi untuk pulang ke tanah air mereka sendiri). Sayangnya, tanah yang menjadi jujukan berdiri bangsa Yahudi itu adalah tanah yang sudah ribuan tahun dihuni bangsa Palestina

Meski Israel tampil sebagai negara yang demokratis, demokrasi itu berstandar ganda. Hanya untuk warga Yahudi. Warga Arab yang juga menjadi warga negara Israel tidak mendapatkan peran yang setara seperti halnya warga Yahudi dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, dan pemerintahan. 

Terkadang memang ada perwakilan warga Arab yang duduk dalam pemerintahan, tapi sangat jarang dan terkesan simbolis. Apalagi, ketika partai yang berkuasa adalah partai sayap kanan seperti Liqud, tidak ada perwakilan dari partai-partai representasi warga Arab di Israel. Yaitu, Partai Hadash-Ta’al, United Arab List, dan Balad.

Sementara itu, di parlemen, dari total 120 anggota Knesset, hanya ada 5 anggota dari Partai Hadash-Ta’al. Tidak signifikan dalam memengaruhi suara di parlemen.

Tak cukup dengan menguasai pemerintahan dan parlemen, Partai Liqud pimpinan Benjamin Netanyahu yang didukung sejumlah partai politik Yahudi beraliran kanan mengeluarkan banyak kebijakan yang mendiskriminasi bangsa Arab di Israel.

Jadi, kalau ada yang menyebut Israel sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, penulis menyebutnya sebagai ”demokrasi apartheid”. Apartheid adalah politik diskriminatif yang didasarkan pada perbedaan warna kulit (etnis) di mana etnis tertentu menguasai dan mendiskriminasi etnis yang lain. Istilah itu populer untuk menggambarkan rezim apartheid di Afrika Selatan.

Diskriminasi dan penindasan oleh pemerintah Israel akan lebih tampak ketika melihat konteks hubungan dengan negara Palestina yang hingga kini belum sepenuhnya merdeka.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: