Kekerasan dan Perundungan Civitas Academica: Antisipasi, Penanganan, dan Solusi
ILUSTRASI kekerasan dan perundungan civitas academica: antisipasi, penanganan, dan solusi. Kasus perundungan di kampus yang terungkap ke permukaan selama ini bak fenomena gunung es. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Lalu, mengapa korban enggan melapor? Beberapa alasan mendasar ialah korban diliputi perasaan takut, malu, tidak tahu akan melapor ke mana, dan perasaan bersalah.
Kondisi traumatis yang dialami korban juga membuat korban kesulitan untuk bercerita. Selain itu, respons masyarakat menjadi pertimbangan penting, bagaimana masyarakat bereaksi setelah mengetahui kejadian tersebut.
Banyak dari masyarakat justru menyalahkan korban sehingga bukan empati yang didapatkan, melainkan cibiran yang membuat korban makin terpuruk.
Lalu, pertanyaan berikutnya, mengapa mereka memilih bertahan? Meski mereka mengetahui bahwa dia sedang berada dalam hubungan yang tidak sehat, dan bahkan mengalami kerugian fisik, mental, dan material.
Hal itu terjadi terutama pada konteks kekerasan yang melibatkan relasi romantis di kalangan mahasiswa. Alasan yang paling sering adalah adanya bias kognitif, yaitu kesalahan alam bawah sadar dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi.
Bias tersebut membuat seseorang mengambil keputusan berdasarkan emosi, bukan logika.
Sejauh ini para korban memilih untuk tetap bertahan karena perasaan cinta yang mendalam (bucin) atau ketakutan akan ditinggalkan. Biasanya mereka juga memiliki keyakinan keliru bahwa ia dapat mengendalikan atau mengubah perilaku pasangannya sehingga memilih bertahan dan memaafkan.
Akibatnya, perilaku kasar akan terus berlanjut dan mereka terjebak dalam siklus harapan dan kekecewaan yang tak berujung.
PENANGANAN DAN ANTISIPASI
Penanganan tindak kekerasan harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Penanganan tidak boleh bersifat sporadis, tambal sulam, sehingga bisa tepat sasaran, efektif, komprehensif, dan berkelanjutan.
Penanganan tindak kekerasan dan perundungan juga membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif. Selain itu, pimpinan kampus harus responsif dalam memutuskan sanksi kepada pelaku agar sesegara mungkin bisa menjawab ekspektasi publik.
Mari kita kuatkan kembali literasi dan penguatan pendidikan karakter. Pengawasan keluarga, lingkungan, organisasi, dan komunitas juga menjadi penting. Pembentukan kampung karakter di area kos mahasiswa perlu didukung sebagai bentuk penguatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan mahasiswa.
Selanjutnya, melalui penguatan regulasi dan penegakan hukum, diharapkan bisa menjadi warning dan pengingat adanya ancaman hukuman serius bagi siapa saja yang melakukan tindak kekerasan dan perundungan.
Last but not least, kampus harus terus melakukan tindak preventif dan kuratif agar ke depan kejadian kekerasan dan perundungan bisa diminimalkan. Langkah strategis tersebut harus dimasukkan ke kurikulum pendidikan karakter mahasiswa dan merevitalisasi peran satgas PPKS di kampus.
Semua langkah tersebut perlu dilajukan secara terpadu dan berkesinambungan. Semoga. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: