Demokrasi Digital dan Partisipasi Pemilih
ILUSTRASI demokrasi digital dan partisipasi pemilih. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Mengoreksi Pesta Demokrasi agar Tak Menyakiti Bumi
BACA JUGA:Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian
Komunikasi politik lewat berbagai model dan bentuk kampanye dapat membuka peluang voter menilai siapakah yang terbaik. Dalam konteks ini, keterkenalan dan popularitas adalah faktor penting dalam pemenangan kompetisi.
Sebab, variabel personalitas dan citra relatif lebih dominan dalam keputusan memilih voter daripada tawaran-tawaran program. Salah satu kiatnya adalah bagaimana secara cerdik memanfaatkan teknologi informasi dalam membangun opini masyarakat (power of opinion).
”Politik pencitraan” (the politics of image). Seorang kandidat harus menampilkan diri sebagai sosok yang penuh pesona dan sempurna di hadapan rakyat pemilihnya. Tidak boleh ada cacat, kelemahan, ataupun mati gaya.
Tutur kata, penampilan, beserta gerak tubuh harus ditata sedemikian rupa supaya rakyat terpikat dan berhasrat memilih dirinya. Pertanyaannya, seberapa kuat politik pencitraan dapat memikat opini publik sehingga dapat membuat publik memberikan suaranya?
Untuk membangun opini publik, kehadiran teknologi digital –termasuk internet dan media sosial– dalam proses kampanye politik memberikan peluang peningkatan partisipasi publik.
Demokrasi digital dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) menciptakan arus komunikasi secara sirkular, yakni masyarakat terlibat lebih aktif dalam pengambilan keputusan, mengakses informasi, dan berpartisipasi dalam diskusi politik.
Akses informasi melalui teknologi digital mendorong informasi secara transparan sehingga keputusan yang diambil lebih informatif. Media sosial dan platform digital lainnya dapat dimanfaatkan kandidat kepala daerah untuk membangun image positif serta berkampanye menuangkan gagasan dan program.
Sedangkan bagi pemilih, mereka dapat berinteraksi, menyampaikan pendapat, dan terlibat dalam diskusi untuk mendapatkan informasi yang akurat. Itu menciptakan ruang dialog terbuka dan partisipasi aktif dalam proses demokrasi.
MISINFORMASI
Problem demokrasi digital membuka peluang terjadinya misinformasi atau berita bohong. Kampanye hitam alias black campaign dalam bentuk penyebaran informasi yang bersifat hoaks dengan cara menyebarkan isu atau gosip, misalnya, salah satu paslon terindikasi kasus megakorupsi.
Pengalaman dalam kampanye pemilu maupun pilkada sebelumnya, kampanye hitam di media digital sangat masif digunakan untuk menyerang lawan politik walaupun tanpa didukung data dan fakta. Hal ini rentan mengakibatkan terjadinya pembelokan pilihan.
Penyebaran foto atau video yang menyesatkan –dengan bantuan teknologi foto ataupun video yang dimanipulasi sedemikian rupa– menunjukkan situasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, video yang mengeklaim menunjukkan calon tertentu berbuat pelanggaran norma etika dalam acara kampanye, padahal sebenarnya itu adalah rekaman yang telah diedit.
Bentuk-bentuk kampanye hitam tersebut merupakan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya terkait pasal hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: