Seribu Situs Judol, Wani Piro?

Seribu Situs Judol, Wani Piro?

ILUSTRASI seribu situs judol, wani piro? Menteri Komdigi Meutya Hafid menyatakan bahwa sebelas pegawai Kemenkomdigi terlibat judi online (judol) -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Anehnya, hasil penyelidikan polisi, ternyata dulu AK itu tidak lolos seleksi penerimaan calon tenaga pendukung teknis sistem pemblokiran konten judol yang ditunjuk negara. Namun, kenyataannya, AK adalah pengendali di kantor itu.

Wira: ”Artinya, tersangka AK betul-betul memiliki kewenangan untuk mengatur pemblokiran website perjudian online.”

Keanehan itu kini masih diselidiki polisi, mengapa bisa terjadi begitu?

Tersangka AK selaku pimpinan kantor Satelit dibantu dua orang, tersangka AJ dan A. Para tersangka itulah yang diduga menghubungi ribuan bandar judol pemilik sekitar 5.000 situs judol yang ada di Indonesia. 

Siapa bandar yang mau bayar (Rp 8,5 juta per bulan) kepada para petugas yang berwenang memblokir situs judol, situsnya ”dibina” alias tidak diblokir. Siapa yang tidak bayar, situsnya diblokir.

Akhirnya diungkap, ada 1.000 situs yang bandarnya bayar Rp 8,5 juta. Yang 4.000 diblokir.

Kewenangan memblokir adalah kekuasaan mutlak yang dipegang Komdigi dan petugas pelaksananya adalah para tersangka itu. Kewenangan tersebut ternyata tanpa mekanisme kontrol. Sampai dilakukan penyelidikan Polri sehingga perkara itu terungkap.

Kekuasaan tanpa mekanisme kontrol pasti cenderung korup. Itu bukan dugaan, melainkan hasil riset.

Prof John Antonakis, guru besar ilmu perilaku organisasi di sekolah bisnis di  University of Lausanne di Lausanne, Swiss, menulis tentang riset itu. Dipublikasi di The Guardian, 17 Desember 2014, berjudul Does power lead to corruption?.

Disebutkan, Antonakis dan kawan-kawan menggelar riset tentang, apakah kekuasaan membikin semua orang (jujur atau tidak) jadi berperilaku korup?

Pertanyaan itu berangkat dari asumsi, ada kemungkinan bahwa kekuasaan membikin seseorang korup. Namun, ada juga kemungkinan, ada individu yang memiliki kecenderungan alami untuk mencari kekuasaan karena mereka memang sejak awal berniat korup.

Bentuk risetnya, tim peneliti memberikan kekuasaan kepada sekelompok peserta secara acak dan mengamati bagaimana mereka berperilaku. 

Responden diberi penugasan secara acak, tim periset memastikan bahwa mereka punya jumlah individu yang sama untuk masing-masing karakter responden yang sudah diseleksi. Yakni, ada yang jujur, cerdas, korup, pria, wanita. Komposisi jumlahnya hampir sama dalam kelompok eksperimen dan kontrol.

”Kami menyiapkan dua eksperimen laboratorium. Peserta memainkan apa yang disebut permainan diktator. Sang diktator, yang disebut sebagai ’pemimpin’ dalam eksperimen tersebut, dapat memutuskan, bagaimana ia membagi sejumlah uang antara untuk dirinya dan tim.” 

Mereka harus membuat pilihan. Antara, melayani kebaikan bersama (melakukan hal yang benar untuk kesejahteraan publik) dengan meningkatkan pembayaran tim atau melayani diri sendiri sehingga meningkatkan kepada pembayaran pemimpin tetapi menghancurkan kesejahteraan publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: